Kabar7News, Pontianak – Polres Singkawang bersama Tim Saber Pungli dan Imigrasi Singkawang akan membentuk tim khusus (timsus) untuk mencari dan mengejar oknum-oknum tertentu yang mempergunakan cara untuk mempersulit pelayanan yang ada di Kantor Imigrasi setempat.

“Salah satunya untuk menyelidiki pendaftaran palsu terhadap pemohon paspor secara online,” kata Kapolres Singkawang, AKBP Raymond M Masengi, disela-sela melakukan kunjungan ke Kantor Imigrasi Kelas II Non TPI Singkawang dalam rangka menuju Zona Integritas Wilayah Bebas Korupsi oleh Kantor Imigrasi setempat. Kamis, (12/09/2019).

Dalam kunjungan tersebut, mereka juga berdiskusi untuk memperbaiki pelayanan publik yang ada ataupun bertujuan untuk menyempurnakan yang berkaitan dengan wilayah bebas korupsi (WBK) tersebut.

Diluar daripada itu, dia bersama tim Saber Pungli juga melakukan monitoring apakah di Kantor Imigrasi Singkawang masih ada praktik-praktik calo ataupun yang lainnya.

“Mengingat bapak Kepala Kantor Imigrasi Singkawang berkomitmen untuk membersihkan segala pelayanan publik dari praktik-praktik percaloan ataupun yang lainnya,” ujarnya.

Kemudian, berdasarkan hasil diskusi yang dilakukan, kata Kapolres, diduga ada oknum-oknum tertentu yang dengan sengaja mendaftarkan diri untuk membuat space 120 pemohon menjadi penuh.

Sehingga, masyarakat umum kesulitan bahkan tidak bisa melakukan pendaftaran. Seolah-olah pengurusan paspor di Kantor Imigrasi Singkawang cukup sulit.

“Permasalahan ini yang akan kita cari dengan menugaskan tim khusus (timsus), apalagi ada indikasi bahwa ada oknum-oknum tertentu yang dengan sengaja mempersulit pelayanan yang ada di Kantor Imigrasi Singkawang,” ungkapnya.

Pada kesempatan yang sama, Kepala Kantor Imigrasi Kelas II Non TPI Singkawang, Noor Agus Hidayat mengatakan, jika pendaftaran pemohon paspor sekarang ini sudah diberlakukan sistem online.

“Dari 120 pemohon yang ditargetkan dalam satu hari, justru yang datang ke kantor hanya sekitar 50-60 pemohon. Sementara pendaftar yang lainnya kosong,” katanya.

Terkait dengan ini, maka yang dirugikan adalah masyarakat dan juga Kantor Imigrasi. “Anggapan masyarakat seolah-olah kita yang mempersulit, sehingga masyarakat banyak yang konflin dan menyerang kami tentang adanya dugaan jual beli nomor antrian,” ujarnya.

Sehingga, Imigrasi Singkawang berkesimpulan harus bekerjasama dengan Polres dan Tim Saber Pungli guna mengusut tuntas permasalahan yang terjadi.
(sumber:AntaraNews)


Kabar7News, Jakarta – Gugatan Perbuatan Melawan Hukum terhadap Dewan Pers yang dilayangkan Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia Wilson Lalengke dan Ketua Umum Serikat Pers Republik Indonesia Hence Mandagi kini memasuki babak baru. Majelis Hakim Pengadilan Tinggi DKI Jakarta telah memutuskan menerima permohonan banding dari para pembanding semula para penggugat dan membatalkan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.235/Pdt.G/2018/PN.Jkt.Pst. Bahkan, dalam putusan banding, disebutkan juga secara tegas bahwa eksepsi Dewan Pers yang disampaikan di pengadilan tingkat pertama dinyatakan ditolak oleh Majelis Hakim Banding.

Adanya putusan ini disambut baik kuasa hukum pembanding semula penggugat Dolfi Rompas. Menurutnya, keputusan tingkat pertama yang menyatakan peraturan Dewan Pers dikategorikan sebagai peraturan yang mengikat bagi seluruh pekerja pers, setara dengan perundang-undangan telah dibatalkan.

Rompas mengatakan, dalam pertimbangan hukum yang disampaikannya dalam memori banding, keputusan majelis hakim tingkat pertama yang menyatakan peraturan Dewan Pers adalah kategori peraturan perundang-undangan adalah keliru. “Kalau peraturan Dewan Pers dianggap sebagai produk perundang-undangan maka seharusnya dimasukan ke dalam lembaran negara dan harus berlogo lambang Garuda, tapi faktanya kan tidak ada,” ujar Rompas kepada wartawan di Jakarta, Selasa (10/9/2019).

Pengadilan Tinggi DKI juga menyatakan eksepsi tergugat tidak dapat diterima (Niet Onvankelijk Verklaard).

Seperti diketahui, dalam eksepsinya tergugat menyatakan Dewan Pers memilik kewenangan dalam membuat peraturan-peraturan di bidang pers. “Dengan tidak diterimanya eksepsi pihak tergugat, maka Dewan Pers tidak bisa lagi menganggap lembaganya memiliki kewengan untuk membuat peraturan tentang pers tersebut,” ungkap pengacara yang pernah bertahun-tahun berprofesi sebagai wartawan ini.

Namun begitu, Rompas juga mengaku heran atas putusan tersebut karena dalam putusan yang sama hakim juga menolak gugatan dari pihak pembanding atau penggugat. “Seharusnya ketika banding diterima maka gugatan kita juga harus diterima. Tapi sesungguhnya kami puas dan menghormati apapun keputusan hakim, karena tanpa mengabulkan gugatan kita, putusan tingkat pertama sudah dibatalkan dan eksepsi Dewan Pers juga tidak diterima,” urainya lagi.

Menanggapi putusan ini, Ketua Umum PPWI Wilson Lalengke mengatakan, Keputusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta sesungguhnya memberi harapan baru bagi insan pers. “Permohonan banding kita telah dimenangkan dan itu membuktikan peraturan Dewan Pers tidak mengikat bagi seluruh wartawan,” ujar alumni PPRA-48 Lemhanas RI dalam keterangan persnya di Jakarta hari ini.

Lalengke juga menambahkan, sudah saatnya seluruh kekuatan pers Indonesia bersatu kembali untuk menyelesaikan permasalahan pers yang sangat besar ini. “Dua lembaga peradilan saja (Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri) bisa berbeda persepsi tentang persoalan pers yang ada saat ini, maka sebaiknya solusi masalah pers harus diselesaikan juga lewat jalur politik,” pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Umum SPRI Hence Mandagi mengaku lega atas putusan banding yang telah ditetapkan PT DKI Jakarta. “Hari ini kemerdekaan pers yang kita perjuangkan bersama ribuan wartawan dari penjuru tanah air bisa didengar majelis hakim pengadilan tinggi, dan itu patut disyukuri,” ujar Mandagi dalam keterangan persnya di Jakarta.

Pada intinya, menurut Mandagi, PT DKI Jakarta telah membatalkan putusan tingkat pertama yang menyatakan Dewan Pers tidak memiliki kewenangan dalam membuat peraturan di bidang pers yang mengatasnamakan UU Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers. “Ketika eksepsi Dewan Pers dinyatakan tidak diterima oleh PT maka menjadi tidak penting gugatan kami ditolak karena sesungguhnya klaim Dewan Pers atas kewenangannya sudah dinyatakan tidak dapat diterima,” urai Mandagi.
(Red)


Kabar7News, Jakarta – Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertujuan untuk mendorong lembaga antirasuah itu bekerja sesuai dengan aturan dan bukan untuk melemahkan lembaga tersebut.

“Intinya kita ingin mendorong KPK, tapi sesuai dengan aturan hukum yang jelas, ada kepastiannya baik bagi KPK juga bagi masyarakat. Jadi tidak ada sama sekali kita ingin melemahkan KPK,” kata Wapres JK kepada wartawan di Kantor Wapres Jakarta, Selasa.

JK menekankan dengan adanya revisi UU tersebut, kerja KPK dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak ada lagi tindakan asal tangkap, apalagi menggantungkan status hukum seseorang atau tersangka. Selain itu, JK menilai UU KPK saat ini memang memerlukan perbaikan di beberapa pasal, sehingga revisi perlu dilakukan.

“Secara prinsip, perlu perbaikan-perbaikan. Contohnya tadi pengawasan, penyadapan dan juga OTT (operasi tangkap tangan). Jangan modalnya OTT tapi tidak jelas OTT-nya. Itu harus diperbaiki,” tegasnya.

Revisi UU KPK muncul dari usulan DPR untuk segera dibahas dan disahkan di akhir periode 2014-2019 yang berakhir pada Oktober. Presiden Joko Widodo pun hingga Selasa siang belum mengirimkan surat presiden (supres) sebagai bentuk persetujuan untuk membahas RUU tersebut.

Beberapa poin revisi tersebut menyangkut antara lain pengakuan kedudukan KPK disepakati berada pada tingkat lembaga eksekutif atau pemerintahan, status pegawai, pembentukan dewan pengawas, kewenangan penyadapan seizin dewan pengawas, serta prosedur penghentian penyidikan dan penuntutan kasus korupsi yang tidak selesai dalam satu tahun atau dengan menerbitkan SP3.
(sumber:AntaraNews)


Kabar7News, Kapuas Hulu – Kejaksaan Tinggi Provinsi Kalimantan Barat menetapkan mantan Bupati Kapuas Hulu, Abang Tambul Husin sebagai tersangka terkait dugaan tindak pidana korupsi pengadaan tanah pembangunan perumahan dinas Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu tahun 2006.

“Terhadap mantan Bupati Kapuas Hulu atas nama Abang Tambul Husin sudah ditetapkan sebagai tersangka oleh penyidik Pidana Khusus Kejati Kalbar,” kata Kasi Penkum Kejati Kalbar Pantja Edy Kurniawan, di hubungi Antara dari Putussibau, Ibu Kota Kabupaten Kapuas Hulu Kalimantan Barat. Selasa, (10/09/2019).

Dikatakan Pantja, penetapan Abang Tambul Husin sebagai tersangka berkaitan dengan tim sembilan pengadaan tanah pembangunan perumahan dinas Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu tahun 2006.

“Yang jelas penyidik sudah menetapkan sebagai tersangka dan saat ini masih penyidikan terhadap saksi – saksi,” ucap Pantja singkat.

Sementara itu berdasarkan data yang di peroleh ANTARA, terkait kasus tersebut sudah ada beberapa tim sembilan yang telah diproses hukum diantaranya Mantan Kepala Dinas Pekerjaan Umum (PU) Kapuas Hulu, Wan Mansor, mantan Camat Putussibau Utara, Mauluddin, dan mantan Kepala Kantor Pertanahan Kapuas Hulu, M Arifin.

Selain itu penyedia jasa atau kontraktor atas nama Daniel alias Ateng, mantan Kepala Desa Pala Pulau Antonius, kemudian RA Sungkalang.
(sumber:AntaraNews)


Kabar7News, Jakarta – Pakar hukum tata negara sekaligus advokat, Irmanputra Sidin mengatakan pengaturan kewenangan KPK menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3) yang dimuat dalam revisi Undang-undang KPK mesti di hapuskan.

“Yang namanya revisi undang-undang secara umum itu sebuah keniscayaan, tidak mungkin kita tolak, tapi tidak semua item dari revisi itu perlu kita setujui,” kata Irmanputra Sidin saat di hubungi, dari Jakarta, Minggu, (07/09/2019).

Salah satu yang perlu disoroti dari beberapa poin yang kini menjadi perbincangan yakni tentang usulan memberikan KPK kewenangan SP3 perkara tersebut, karena menurut dia hal itu tidak perlu ada dalam undang-undang nantinya.

Usulan itu menurut dia tidak tepat, sebab jika KPK memiliki kewenangan SP3 maka hal tersebut tentu juga akan memberikan kemudahan bagi institusi pemberantasan korupsi itu untuk mentersangkakan orang.

“Karena nanti dipikir (tersangkakan saja dulu), nanti dipikir (kalau tidak terbukti) di SP3-kan. Padahal prinsip konstitusional tidak boleh orang mudah ditersangkakan, dan sesungguhnya negara harus dipersulit mentersangkakan orang,” tuturnya, menegaskan.

Proses hukum yang semestinya menurut dia, bukan dalam bentuk SP3 tetapi KPK harus memiliki tahapan yang jelas dengan tenggat waktu yang pasti dalam memproses suatu perkara.

Tenggat waktu ini sangat penting guna memberikan hak-hak kepastian hukum setiap orang yang berperkara di KPK. Para tersangka harus jelas status hukum mereka, selambat-lambatnya enam bulan dari penetapan tersangka.

“Paling lama enam bulan, tapi kalau bisa tiga bulan. Kalau sudah tersangka segera limpahkan ke pengadilan, kalau tidak maka status tersangkanya batal demi hukum, bukan karena SP3 dari KPK,” ujarnya.
(sumber:AntaraNews)

Tidak Ada Postingan Lagi.

Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.