Hakim PT Banten Tidak Mendukung Pemberantasan Narkoba, Terkesan Asal Ubah Putusan

Kabar7News, Jakarta – Pengadilan Tinggi (PT) Banten menganulir hukuman mati kepada bandar sabu Bashir Ahmed dan Adel menjadi 20 tahun penjara. Terkesan hakim tidak mendukung pemberantasan narkoba dengan asal mengubah putusan.

Kedua bandar obat terlarang tersebut adalah pemilik sabu 821 kilogram yang dikirim dari Iran melalui perairan Tanjung Lesung wilayah Banten Selatan. Padahal sanksi menjerakan berupa hukuman mati paling pantas bagi penyebar barang perusak masyarakat ini.

Hakim tidak mendukung upaya pemberantasan narkoba, karena sudah jelas terdakwa sebagai bandar, sekaligus pengedar dalam kasus ini dan hakim terkesan asal mengubah putusan pidana  terdakwa.

Menanggapi hal ini, Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra menyatakan ada trend perubahan putusan Majelis Hakim Banding setelah putusan Hakim Pengadilan Tinggi DKI dalam Kasus Jaksa Pinangki kini berlanjut terjadi pada majelis hakim Pengadilan Tinggi Banten.

Dia mengatakan bahwa majelis hakim  pengadilan tinggi keliru mengartikan dan menerapkan  Pasal 241 KUHAP.
“Pasal 241 KUHAP harus diikuti dengan persyaratan oleh hakim, jadi tidak bisa ditafsirkan secara bias oleh hakim, apalagi jika hanya ketidaksetujuan terkait  pemidanaan artinya hakim di tingkat banding menggeser makna perbuatan, fakta hukum, alat bukti, keadaan termasuk nilai keyakinan hakim dalam membuat pertimbangan hukumnya telah lari dari tujuan hukum pidana (vide Pasal 197 huruf d KUHAP).

“Pasal 241 Kuhap baru bisa dilakukan, jika semua hal dalam pemeriksaan hakim banding menemukan ada kelalaian dalam penerapan hukum acara atau kekeliruan atau kurang lengkap baru pengadilan tinggi mengadakan putusan sendiri,” tegasnya kepada Kabar7News di Jakarta, Senin (28/6/2021).

Lanjut Azmi, tolak ukurnya lihat apa alasan fakta keadaan dan argumentasi hukum dalam pertimbangkan hukumnya, dimana yang terjadi hakim banding cenderung setuju dengan pertimbangan hukum pengadilan negeri terkait fakta, unsur, alat bukti dianggap  mempunyai nilai kekuatan pembuktian.

“Dimana pada praktiknya pengadilan tinggi hanya tidak sepakat tentang penjatuhan hukuman pidana dan lamanya masa pidana, ini kan kontradiktif ?,” terang Azmi.

Dia mempertanyakan fakta diakui, bukti diakui, pertimbangan hukum hakim pengadilan negeri diakui dan diambil hanya tidak sepakat dengan lama hukuman atau jenis hukuman.

Selain itu, semestinya pengurangan hukuman pada tingkat banding itu dipilah dengan matang dilihat dulu oleh majelis pada bobot dan kualitas tindak pidananya dan dampak dari perbuatannya bukan asal mendiskon hukuman untuk ubah putusan.

“Karenanya dalam menjaga kualitas penegakan hukum hakim harus mampu mengharmonisasi keadilan dan kepastian hukum, mengingat kekuasaan kehakiman itu kekuasan negara yang merdeka, bebas dari campurtangan  pihak kekuasaan atau pihak manapun,  sehingga putusannya harus mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia karena dalam kasus ini Jaksa harus melakukan kasasi,” papar dia.

Dia melanjutkan, apalagi mengingat reformasi hukum pidana dalam UU Narkoba tampak sekali berproses dalam suatu dinamika perkembangan sosial dan tehnologi yang berpengaruh terhadap perkembangan kriminalitas di Indonesia yang menuntut tindakan dan kebijakan antisipastif, karena diketahui perbuatan peredaran bandar narkoba jelas merupakan perbuatan tersebut amoral.

“Dan sangat merugikan kepentingan masyarakat, kesehatan masyarakat, jadi perilaku menyimpang dan membawa kerusakan pada masyarakat,” pungkasnya.

(wem)

No More Posts Available.

No more pages to load.