Kabar7News, Jakarta – Terkait usulan salah satu anggota DPR, yang menyatakan terapkan hukuman mati atau seumur hidup jika korupsi diatas 100 Milyar, adalah sebuah dialektika yang tidak tepat, dan semakin menunjukkan tidak berpihak pada kepentingan nasional.
Aturan ini sudah ada dalam undang- undang dan sangat jelas ketentuan serta syaratnya, jadi tidak perlu lagi membuat klausula baru bagi koruptor secara matematik berdasarkan jumlah uang, misal dengan usulan bila korupsi 100 Milyar dituntut hukuman mati, ini tidak akan efektif, akal-akalan saja dan cendrung tidak berguna.
secara yuridis ketentuan hukuman mati sudah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa kejahatan korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam nasional, krisis ekonomi, dan pengulangan tindak pidana korupsi dapat dipidana dengan hukuman mati, jadi tidak perlu harus ditambahi syarat bila korupsi 100 Milyar, penerpan hukuman mati ini sudah clear, payung hukumnya jelas ada. Karenanya tidak boleh ada kompromi bagi pencolong uang negara apalagi termasuk bagi oknum pejabat yang mencuri uang haknya orang miskin.
Klausula ini bentuk komitmen melawan korupsi, namun penegak hukum belum ada yang menuntut pidana atau ada eksekusi mati dalam tindak pidana korupsi termasuk KPK dalam perkara Bansos di masa covid.
Jadi penegak hukum termasuk DPR harus konsisten terhadap undang-undang yang sudah ada, sejak lebih dari dua puluh tahun lalu, undang- undang sudah menentukan sanksi bagi koruptor dapat dituntut pidana mati.
Apalagi jika dugaan tindak pidana korupsi itu dilakukan oleh pejabat negara, ini semestinya menjadi alasan pemberatan pidana. Karenanya ini sebagai tantangan sekaligus sikap ketegasan bagi penegak hukum maupun bagi pemerintah, masalahnya mau atau tidak, berani atau tidak untuk menerapkan hukuman mati dengan konsisten bagi koruptor, ini kata kuncinya.
Sehingga demi kepentingan nasional dan kepentingan rakyat ,jangan pernah ada kompromi buat koruptor, tidak lagi memberikan celah keringanan atau ruang kemudahan termasuk diskon hukuman pada pelaku tindak Pidana Korupsi, jika masih saja membuat kebijakan atas kondisi bangsa yang darurat korupsi ini diberi ruang keringanan atau “tawar menawar”, akan membuat ruang aparat hukum atau pejabat “tergoda cari cara ” untuk korupsi, sehingga penegakan hukum menjadi lemah cendrung tidak berkualitas lagi dan menghilangkan rasa tanggungjawab pemimpin serta berdampak terhadap masyarakat yang semakin tidak percaya pada kualitas penegakan hukum.
Jadi kalau menginginkan Indonesia ingin bersih dan sistem tata kelola birokrasi kedepan lebih baik, perlu melakukan perubahan yang besar dalam pemidanaan terhadap koruptor karenanya sikat habis dan miskinkan koruptor, sebab dampak korupsi ini berbahaya dapat menimbulkan krisis diberbagai bidang dan terganggunya kepentingan nasional.
Penulis: Azmi Syahputra
Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti