Kabar7News, Jakarta – 63 tahun Kejaksaan jadi momentum sekaligus menunjukkan cakrawala baru dalam penegakan hukum, dimana Presiden Jokowi begitu gembira dan antusias dan memberikan apresiasi kepercayaan publik kepada jajaran kejaksaan Agung dalam bingkai fase kinerja 9 tahun lembaga Kejaksaan Agung.

Azmi Syahputra sebagai Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti mengungkapkan Moment hari bakti adhiyaksa tahun ini sekaligus menunjukkan bahwa Jaksa Agung berhasil mengembalikan marwah Kejaksaan Agung sebagaimana janjinya pada waktu ia dilantik.

Arah tujuan kinerja kejaksaan yang semakin terarah dan bermakna, terbukti dengan capaian yang semakin baik, penegakan hukum yang berkualitas, berani, tegas dan humanis serta banyak terobosan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung ini,” ucapnya berdasarkan keterangan tertulis dari Azmi Syahputra, di Jakarta.

Azmi menambahkan prestasi kejaksaan terutama dalam mengungkap, mendongkrak kasus besar korupsi menjadi penting guna peningkatan reputasi dan memulihkan kepercayaan publik pada institusi.

“Kejagung membantu mewujudkan keadilan sehingga mendapat kepercayaan tinggi dari masyarakat.  Hal ini terbukti dengan bidang bidang unit kerja kejaksaan Agung mampu mengungguli lembaga penegak hukum lain sehingga kejaksaan dapat pula dimaknai berhasil menjaga wajah kepastian dan kualitas penegakan hukum sampai saat ini termasuk berani mengubah cara penyelesaian hukum terhadap 3049 perkara perkara pidana ringan dengan cara Restorative Justice dan membentuk 3537 Rumah RJ,” tuturnya.

Lebih lanjut capaian mendapatkan hasil pengembalian keuangan negara yang lebih besar dari lembaga penegak hukum lain telah pula dilakukan kejaksaan dan ini juga berdampak pada pemasukan keuangan negara serta kepercayaan publik yang semakin tinggi pada Kejaksaan Agung.

Azmi berharap Kejaksaan Agung dan seluruh jajaran dapat terus mempertahankan prestasi kepercayaan publik, tingkatkan kepekaan sosial serta terus melakukan terobosan terobosan hukum guna penegakan hukum yang prosedural, berkualitas dan berkeadilan.

(wem)

Kabar7News, Jakarta – Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti Azmi Syahputra menilai Jaksa dalam tuntutannya yakni pidana 12 tahun kepada Bharada E janggal tanpa pertimbangan objektif dan tidak logis, jaksa gagal menjadi filter dalam mewujudkan rasa keadilan masyarakat.

“Ini sebuah keprihatinan, Jaksa gagal dalam menentukan berat ringannya tuntutan kepada terdakwa padahal tampak Jaksa telah memaparkan banyak hal dan fakta yang meringankan lebih dominan daripada hal- hal yang memberatkan, yang diperoleh dari keterangan Bharada E termasuk membantu menemukan persesuaian fakta- fakta dan persesuaian alat bukti,” paparnya kepada Kabar7News di Jakarta, Rabu (18/1/2023).

Menurutnya Bharada E dinyatakan koperatif, tidak berbelit belit, diketahui dapat menerangkan dengan detail, serta keluarga korban sudah memaafkan termasuk peran penting Bharada E yang sejak awal sebagai pembuka tabir peristiwa Duren Tiga serta posisinya sebagai Justice Colaborator( JC) juga diabaikan.

“Jaksa gagal fokus dalam tuntutannya semestinya hal-hal dan
fakta tertentu, sifat koperatif dan terbantunya pembuktian Jaksa akibat adanya bantuan keterangan Bharada E yang bersesuaian harus dimajukan untuk diutamakan sebagai pertimbangan objektif sekaligus sebagai alasan lebih ringannya tuntutan atas dirinya,” jelasnya.

Jadi narasi, katanya, isi surat tuntutan jaksa dengan lamanya tuntutan seolah ada pertentangan atas kenyataan peran keterangan Bhrada E selama ini dalam proses pemeriksaan, sehingga patut diduga tuntutan ini terbalut kejanggalan, tidak lengkap hal-hal yang diajukan dan ini juga ditandai dengan jaksa ada saat membacakan berapa lama tuntutan atas seperti berdiam diri sejenak, seolah setengah hati atau seolah ada rasa keragu-raguan, ada keengganan dalam membacakan lamanya pidana tuntutan pada Bharada E .

Dia mengatakan Jaksa dalam tuntutan pada Brada E tidak memperhatikan keseimbangan, menunjukkan kurang teliti dalam menelaah antara mens rea pelaku, keadaan dan faktor pelaku pada saat melakukan dan kontribusi nyata pelaku yang telah banyak membantu sejak penyidikan dan pembuktian jaksa dalam menemukan persesuaian fakta maupun alat bukti hingga perkara ini sampai dapat maju di persidangan, karena dibutuhkan kejujuran dan keberanian tinggi atas sikap yang telah diambil Bharada E.

“Surat tuntutan ini patut diduga ada hambatan non yuridis terkait kompleksitas perkara ini termasuk indikasi ada perbedaan persepsi antar jaksa dalam kebijakan internalnya atas proses tuntutan pada Bharada E hingga hal ini dapat dirasakan tidak sesuai dengan rasa keadilan masyarakat,” tutupnya.

(wem)

 

Kabar7News, Jakarta – Terkait usulan salah satu anggota DPR, yang menyatakan terapkan hukuman mati atau seumur hidup jika korupsi diatas 100 Milyar, adalah sebuah dialektika yang tidak tepat, dan semakin menunjukkan tidak berpihak pada kepentingan nasional.

Aturan ini sudah ada dalam undang- undang dan sangat jelas ketentuan serta syaratnya, jadi tidak perlu lagi membuat klausula baru bagi koruptor secara matematik berdasarkan jumlah uang, misal dengan usulan bila korupsi 100 Milyar dituntut hukuman mati, ini tidak akan efektif, akal-akalan saja dan cendrung tidak berguna.

secara yuridis ketentuan hukuman mati sudah diatur dalam Pasal 2 ayat 2 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan bahwa kejahatan korupsi yang dilakukan pada saat bencana alam nasional, krisis ekonomi, dan pengulangan tindak pidana korupsi dapat dipidana dengan hukuman mati, jadi tidak perlu harus ditambahi syarat bila korupsi 100 Milyar, penerpan hukuman mati ini sudah clear, payung hukumnya jelas ada. Karenanya tidak boleh ada kompromi bagi pencolong uang negara apalagi termasuk bagi oknum pejabat yang mencuri uang haknya orang miskin.

Klausula ini bentuk komitmen melawan korupsi, namun penegak hukum belum ada yang menuntut pidana atau ada eksekusi mati dalam tindak pidana korupsi termasuk KPK dalam perkara Bansos di masa covid.

Jadi penegak hukum termasuk DPR harus konsisten terhadap undang-undang yang sudah ada, sejak lebih dari dua puluh tahun lalu, undang- undang sudah menentukan sanksi bagi koruptor dapat dituntut pidana mati.

Apalagi jika dugaan tindak pidana korupsi itu dilakukan oleh pejabat negara, ini semestinya menjadi alasan pemberatan pidana. Karenanya ini sebagai tantangan sekaligus sikap ketegasan bagi penegak hukum maupun bagi pemerintah, masalahnya mau atau tidak, berani atau tidak untuk menerapkan hukuman mati dengan konsisten bagi koruptor, ini kata kuncinya.

Sehingga demi kepentingan nasional dan kepentingan rakyat ,jangan pernah ada kompromi buat koruptor, tidak lagi memberikan celah keringanan atau ruang kemudahan termasuk diskon hukuman pada pelaku tindak Pidana Korupsi, jika masih saja membuat kebijakan atas kondisi bangsa yang darurat korupsi ini diberi ruang keringanan atau “tawar menawar”, akan membuat ruang aparat hukum atau pejabat “tergoda cari cara ” untuk korupsi, sehingga penegakan hukum menjadi lemah cendrung tidak berkualitas lagi dan menghilangkan rasa tanggungjawab pemimpin serta berdampak terhadap masyarakat yang semakin tidak percaya pada kualitas penegakan hukum.

Jadi kalau menginginkan Indonesia ingin bersih dan sistem tata kelola birokrasi kedepan lebih baik, perlu melakukan perubahan yang besar dalam pemidanaan terhadap koruptor karenanya sikat habis dan miskinkan koruptor, sebab dampak korupsi ini berbahaya dapat menimbulkan krisis diberbagai bidang dan terganggunya kepentingan nasional.

Penulis: Azmi Syahputra
Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti

Kabar7News, Jakarta – Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra menilai perintah Jaksa Agung pada Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus terkait penuntasan kasus pelanggaran HAM Berat merupakan wujud keberanian perjuangan yang konkrit untuk mencapai keadilan dan kebenaran dalam penyelesaikan kasus- kasus ham berat.

“Sikap Jaksa Agung ini layak mendapat dukungan dari semua pihak, karena perintah ini wujud mencari penyelesaian yang lebih tegas dalam menentukan sikap dan pendirian kejaksaan agung yang objektif sekaligus mendobrak hambatan dan menepis kendala kebuntuan dialektika selama ini seolah belum ada titik temu,” kata Azmi kepada Kabar7News, Senin (22/11/2021).

Lebih lanjut, kata dia, dalam beberapa hal terkait proses penanganan pelanggaran ham berat antara Komnas HAM dan Penyidik Kejaksaan Agung, bisa jadi menyangkut hal-hal teknis administratif misal dokumen yang dimiliki oleh intelijen dan institusi militer, tentang alat bukti termasuk pertimbangan politis ke spektrum hukum pidana.

“Jadi dengan Perintah Jaksa Agung ini diharapkan dalam waktu segera akan terlihat dari 12 kasus pelangaran ham yang selama ini menjadi PR, kasus pelanggaran ham berat yang mana yang akan dimajukan dan diselesaikan prosesnya melalui mekanisme peradilan HAM oleh penyidik, termasuk yang mana yang dapat ditempuh dengan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR)  dengan memperhatikan hak-hak keluarga korban, mana pula yang akan di SP3 kan, ini harus berjalan dan dapat kejelasan serta clear semua,” jelasnya.

Dia menambahkan, diharapkan melalui perintah jaksa agung ini tidak ada lagi PR negara atas tragedi pelanggaran kemanusiaan yang sangat pelik ini dan perintah jaksa agung yang dioperasonalkan oleh jaksa agung muda tindak pidana khusus ini.

“Menunjukkan sebagai upaya untuk menghentikan praktik impunitas atau kejahatan yang terjadi tanpa ada penyelesaian melalui proses hukum dan lebih utama sebagai upaya mendandani problematika kasus pelanggaran ham yang sudah puluhan tahun tidak selesai serta memberikan rasa keadilan kepada masyarakat,” ucap Azmi.

(**)

Kabar7News, Jakarta – Menarik wacana jabatan Wakil Panglima dari dialektika publik bahkan ada wacana yang menyatakan jabatan Wakil Panglima hanya sebagai” ban serep”. Jabatan wakil Panglima sangat perlu, dibutuhkan dan bukanlah sebagai ban serep.

Demikian dikatakan Azmi Syahputra Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) kepada Kabar7News di Jakarta, Sabtu (13/11/2021).

Azmi menjelaskan bahwa organ jabatan Wakil Panglima jika menelusuri dari dasar hukumnya jelas sudah diatur pasal 13 ayat (1) huruf a Perpres 66/2019 yang menjelaskan bahwa unsur pimpinan Markas Besar TNI terdiri atas Panglima dan Wakil Panglima.

“Kedudukan Wakil Panglima merupakan koordinator pembinaan kekuatan TNI guna mewujudkan interoperabilitas/Tri Matra Terpadu, yang berkedudukan di bawah dan bertanggung jawab kepada PanglimaTNI,” sebut Azmi.

Wakil Panglima, kata Azmi, mempunyai tugas guna dalam hal membantu pelaksanaan tugas harian Panglima;
Termasuk pula memberikan saran kepada Panglima terkait pelaksanaan kebijakan pertahanan negara, pengembangan postur TNI, pengembangan doktrin, strategi militer dan pembinaan kekuatan TNI serta penggunaan kekuatan TNI, dan difungsikan dalam tugas Panglima apabila Panglima berhalangan sementara dan/atau berhalangan tetap, dan melaksanakan tugas lain yang diperintahkan oleh Panglima.

Lebih jauh, Azmi menjelaskan, meskipun kedudukannya dan fungsinya terbatas sebagai tugas perbantuan bagi Panglima, jika ditinjau dari regulasi sebagaimana diatur dalam Pasal 14 ayat (3) Perpres 66/2019  yang menegaskan bahwa Panglima TNI dibantu oleh Wakil Panglima TNI namun pembatasan seperti itu adalah lazim dalam sebuah penjabaran yuridis malah unsur jabatan ini akan lebih tepat jika dilihat dari sisi pengoperasionalan dan kebergunaan kinerja organisasi TNI memang sangat pas bila jabatan Wakil Panglima ditarik dari mantan kepala staf, agar efektif dalam menjalankan tugas membantu Panglima.

“Karena sebagai mantan Kepala Staf tentunya sangat memahami medan kerja organisasi dan ia lebih mumpuni termasuk mempunyai banyak pengalaman dalam pengendalian sistem kerjasama kekuatan organisasinya dan termasuk pula diketahui dalam TNI itu senioritas sangat berpengaruh terhadap efektivitas rantai komando karenanya diharapkan akan membangun kekompakan dan kesatuan dalam mengambil keputusan organisasi yang akan dijalankan,” lanjut Azmi.

Azmi menyebut sehingga dengan menempatkan Wakil Panglima dengan personil yang tepat tidak ada alasan untuk dijadikan seolah hanya “ban serep”, kuncinya setiap orang Indonesia terutama bagi pejabat yang mau mendapatkan jabatan publik semestinya sudah selesai dengan dirinya sendiri apalagi bila kerja -kerja semua diarahkan guna mengabdikan diri buat Indonesia dan mencapai tujuan cita bangsa, sehingga kegaduhan tema dan istilah jabatan Wakil Panglima seolah hanya sebagai “ban serep” kurang pas didialektikan ke publik lagi.

“Karena terkait organ jabatan wakil panglima ini sudah clear karena telah dinyatakan dan menjadi unsur pimpinan pada Mabes TNI,” pungkasnya.

(wem)

 

Tidak Ada Postingan Lagi.

Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.