Kabar7News, Jakarta – Setiap orang harus diperlakukan sama dalam hukum (equality before the law), tanpa membedakan suku, agama, pangkat dan jabatan, ini asas dalam hukum yang menekankan tidak ada seorang pun yang dikecualikan atau kebal hukum apapun jabatannya termasuk polisi, jaksa dan hakim sekalipun.

Hukum itu diadakan untuk menegakkan keadilan dan kebenaran bukan untuk memanifestasikan kekuasaan yang bila kekuasaan itu tidak dipagari dengan rambu hukum akan menjadi keadilan yang liar.

Jadi sepanjang seseorang tersebut sekalipun pejabat hukum bila melakukan perbuatan yang melanggar hukum yang diancam pidana, maka orang tersebut dapat dimintai pertanggungjawabannya, termasuk pula bagi pelaku yang turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana.

Tentang makna tertangkap tangan diatur oleh KUHAP dan ini berlaku bagi siapapun yang tertangkap pada saat melakukan tindak pidana atau sesaat kemudian ditemukan alat bukti yang diduga keras telah digunakan untuk melakukan tindak pidana, OTT itu harus dimaknai sebagai represi kejahatan , suatu rule of law model, OTT masih diperlukan sekaligus menjadi proses penanggulangan kejahatan yang sebenarnya, karenanya tidak ada perbedaan atau pengecualian orang dalam pemberlakukan tertangkap tangan malah hukum acaranya memberikan mekanisme lebih mudah dalam penerapan hukum bagi pelaku yang di OTT, jadi penegakan hukum tidak bisa terhalang oleh kualifikasi profesi atau jabatan pelaku dalam upaya mendorong penegakan hukum yang berkualitas.

Malah dalam hukum pidana diatur bila kejahatan dilakukan oleh penegak hukum sanksinya lebih berat ditambah 1/3 dari ancaman maksimal.

Jadi bila ada wacana bagi aparatur hukum tidak bisa di OTT dengan alasan sebagai pejabat simbol negara, ini harus dihindari dikhawatirkan bisa-bisa aparatur hukum jadi penjahat yang terselubung, akan jadi pembacking oknum-oknum yang bermufakat dalam sebuah kejahatan yang dibungkus pengamanannya melalui kewenangan jabatan atau kesempatan yang ada dalam jabatannya, karena sebagaimana diketahui kekuasaan itu berpotensi, cenderung untuk disalahgunakan.

Penulis: Azmi Syahputra
Dosen Hukum Pidana Universitas Trisakti

Kabar7News, Ambon – KPK menggelar Rapat Koordinasi (Rakor) Program Pemberantasan Korupsi Terintegrasi di wilayah Maluku yang berlangsung di ruang rapat utama Markas Polda Maluku, Kota Ambon, Rabu (3/11/2021).

Rakor diikuti oleh Wakil Pimpinan KPK, Nurul Ghufron, Kapolda Maluku, Irjen Pol Refdi Andri, Kajati Maluku, Undang Mugopal dan Kepala Kantor Perwakilan BPKP Provinsi Maluku, Yunaedi.

Turut hadir Wakapolda Maluku Brigjen Pol Jan de Fretes, Irwasda Maluku, Direktur Reskrimum, Direktur Reskrimsus, Direktur Resnarkoba, Direktur Lantas, Direktur Intelkam, Direktur Binmas, Direktur Polair, Kabid Kum, Kabid Propam, Kapolresta/Kapolres jajaran Polda Maluku. Hadir pula para pejabat utama Kejati Maluku, dan Kajari jajaran secara virtual.

Tim Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri yang datang di Ambon, selain Wakil Pimpinan KPK, juga ada  Brigjen Pol Didik Wijanarko, Direktur koorsup wilayah I, Imam Turmudhi, Kasatgas V.4, dan Dian Patria, Kasatgas V.2.

“Sinergitas antara aparat penegak hukum di provinsi Maluku dapat terlihat dari jumlah penyelesaian perkara tindak pidana korupsi oleh penyidik Tipikor Polda Maluku dan jajaran,” kata Kapolda Maluku dalam sambutannya.

Sejak tahun 2020 – 2021, Kapolda mengaku penyidik Tipikor Polda Maluku berhasil menyelesaikan sebanyak 31 perkara dengan total kerugian negara sejumlah Rp 79 miliar dan asset recovery sebesar Rp 20 miliar.

“Pencapaian ini tentu saja bukan karena kehebatan dari penyidik tipikor Polda Maluku dan jajaran namun merupakan kerja sama dan sinergitas yang telah terbangun selama ini,” ujarnya.

Olehnya itu, orang nomor 1 Polda Maluku ini mendorong terwujudnya satuan kerja dan satuan wilayah yang bebas dari korupsi sejak tahun 2020 dan 2021.

Di Polda Maluku sendiri terdapat empat Satker dan Satwil yang dalam proses untuk meraih predikat Wilayah Bebas Korupsi (WBK) yaitu Direktorat Lalulintas Polda Maluku, Polresta Pulau Ambon dan Pulau-pulau Lease, Polres Pulau Buru, Polres Maluku Tengah dan Polres Tual.

“Besar harapan kami kiranya sinergitas yang telah terbangun diantara kita dapat terus terjalin dan terpelihara. Sehingga komitmen dan semangat yang selama ini didengungkan dapat mengungkap dan memberantas semua tindak pidana korupsi di Republik Indonesia terutama di Provinsi Maluku,” pungkasnya.

Di tempat yang sama, Kajati Maluku mengaku untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi, pihaknya telah melaksanakan kerja sama dengan stekholder terkait.

“Untuk tahun 2021 telah menangkap 5 DPO terpidana dan satu tersangka atas kerja sama dengan Kejaksaan Agung,” kata dia.

Sementara itu, Kepala BPKP Maluku, memberikan apresiasi terkait rakor yang dilaksanakan untuk mempererat kolaborasi dalam rangka pencegahan dan pemberantasan korupsi, terutama di wilayah Maluku.

“Dalam hal pemberantasan korupsi BPKP ikut andil dalam tiga instrumen pengawasan anti fraud yaitu edukatif, preventif dan represif,” kata dia.

Peran perwakilan BPKP Maluku dalam pemberantasan korupsi terintegrasi, kata dia dilakukan melalui kolaborasi dengan APH dan KPK.

“Kami juga telah melaksanakan beberapa kegiatan antara lain audit investigatif, audit PKKN pemberian keterangan ahli, koordinasi dan supervisi,” jelasnya.

Senada, wakil pimpinan KPK, mengatakan, koordinasi pertama yang harus dilakukan adalah menyatukan visi.

“Kita harus satu Visi bahwa kita semua pandu ibu pertiwi untuk menegakan keadilan,” katanya.

Selain itu, out put dari pada koordinasi ini selain satu visi juga ada strukturisasi. Karena saat ini akan membangun rumah keadilan bagi bangsa Indonesia.

“Mungkin kemarin saling berbeda pandangan itu boleh saja karena itu dinamika, dengan forum ini menjadi refresh demi Indonesia yang makmur,” pungkasnya.

(**)

Kabar7News, Jakarta – Praktik jual-beli jabatan dalam kasus OTT Bupati Probolinggo dan suaminya senin dini hari lalu yang ditangkap KPK menunjukkan bahwa keterlibatan keluarga, orang terdekat (suami istri) diduga sebagai pelaku utama penerima suap dan sekaligus menunjukkan fungsi atasan semakin tidak jelas sekaligus menunjukkan sistem birokrasi yang buruk.

Di dalam setahun kasus jual beli jabatan ini dapat mencapai ratusan triliyun nilainya jadi ini kasus kelas kakap, uang yang besar nilainya ini jadi candu yang buat ketagihan bagi pejabat yang punya kewenangan, mereka pejabat ini melakukan hal yang bertentangan dengan tujuan diberikan kewenangan tersebut, mereka melalaikan tugas dan kewajiban maka hukuman bagi pejabat yang jual beli jabatan ini semestinya terapkan hukuman maksimal.

Jual beli jabatan ini disebabkan kewenangan pejabat yang disalahgunakan, upaya mengejar dan mempertahankan kekuasaan, memuaskan kekuasaan pribadi dan pejabat yang masih menerapkan tradisi birokrasi yang tidak adaptif dengan perubahan kekinian.

Mereka para pimpinan tidak mau belajar dari kasus kasus sebelumnya, mereka ini masih punya slogan keliru, mumpung masih menjabat sehingga kok masih bisa dipersulit kenapa dipermudah

Akhirnya pendekatan apresiasi dan jabatan diberikan kepada orang yang berani memberi uang,dan upeti pada pimpinan, sehingga keduanya sama- sama merasa mendapatkan keuntungan.

Inilah prilaku mentalitas sebahagian pegawai negeri sipil demi jabatan melakukan apa saja, termasuk demi memperoleh dukungan partai politik, gesekan konflik dan dinamika hubungan antara politisi dan partai politik yang tidak mendukung dalam mendapatkan jabatan pun selalu jadi celah melalui menyuap untuk atas nama mendapat jabatan.

Semestinya para ASN memberikan keteladanan, berani menolak untuk menduduki jabatan strategis dengan cara memberikan uang, karena pada akhirnya jabatan yang dperoleh dengan jual beli jabatan akan menambah permasalahan baru dan lingkungan kerja yang korup, maka kembalikanlah budaya kejujuran, sadar diri dan tahu malu ini yang penting.

Jabatan yang dibeli dengan uang hanya akan menambah diri merasa bersalah dan cendrung dalam aktifitas jabatannya berkhianat terhadap sumpah jabatan.

Penulis: Azmi Syahputra
Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha)

Kabar7News, Jakarta – KPK yang berdiri awal dengan KPK sekarang kondisinya contradictio in terminus dan contradiction in adjecto, ibarat mencampur minyak dengan air yang terjadi saat ini melalui kebijakan revisi UU KPK, dugaan pembantaian struktural, mempersempit fungsi dan organisatoris dalam organ KPK yang berhasil dijinakkan dengan sempurna.

Hal tersebut diutarakan Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra kepada Kabar7News di Jakarta, pada Minggu (16/5/2021).

Menurut Azmi Kebijakan-kebijakan yang saat ini berdampak pasca revisi UU KPK, mulai dari pro kontra kebebasan berpendapat, aksi demo masyarakat, permohonan uji materi ke Mahkamah konsitutusi, dugaan naskah akademik yang fiktip, dan terakhir digongin dengan peralihan status pegawai menjadi ASN melalui test wawasan kebangsaan dan dari TWK ada pula 75 orang yang dinyatakan tidak lulus, ini kesemua adalah bagian dari revisi UU KPK.

Dikatakan Azmi, dampak revisi UU KPK kini telah tampak arahnya, karenanya akan terlihat alur revisi ini salah satunya melalui tahap kebijakan legislasi oleh pembuat UU inilah yang jadi pintu strategis dan paling menentukan dilihat dari proses kebijakan untuk mengoperasionalkannya.

“Karenanya kebijakan legislasi merupakan kunci strategis dan menentukan, maka kesalahan dalam tahap legislasi akan berpengaruh besar ke tahap aplikasi dan administrasi, inilah antara lain dampak yang sekarang dirasakan dan terjadi dalam organ KPK pasca revisi UU KPK,” tegas Azmi.

Maka jika melihat atau kembalilah pada masa historical terbitnya UU Tindak Pidana Korupsi dan UU KPK, UU Pengadilan Tindak Pidana Korupsi yang merupakan faktor pendukung yang tidak terpisahkan dari strategi dan rencana aksi pencegahan dan pemberantasan korupsi, yang mana dalam konsiderannya mengakui bahwa korupsi di Indonesia secara sistematik dan meluas dan berdampak negatif merusak tatanan hidup berbangsa.

Serta menghambat gerak laku pembangunan, lanjut Azmi guna tercapainya negara kesejahteraan maka pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa dan pemberantasannya harus dilakukan dengan cara terus menerus yang menuntut peningkatan kapasitas kelembagaan, SDM termasuk menyeimbangkan kesadaran sikap, perilaku masyarakat anti korupsi agar terlembaga dalam sistem hukum nasional.

“Konsideran inilah yang sudah hilang dalam UU Revisi KPK tahun 2019 seolah kurangnya semangat anti korupsi dan kurang menguatkan fungsi dan kewenangan organ KPK,” tambah Azmi.

Diketahui bahwa korupsi akan subur disebabkan oleh peraturan yang buruk termasuk bila ada intervensi, karena sumber korupsi itu yaitu bad laws and bad man, bila regulasi sudah buruk apalagi berkolaborasi dengan keberadaan bad man ini pengaruhnya akan dirasakan lebih berbahaya dan mengganas.

(wem)

 

Kabar7News, Jakarta – Ketua Asosiasi ilmuan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha) Azmi Syahputra menilai Surat Keputusan Pimpinan KPK tanggal 7 Mei 2021, diduga SK tersebut berisikan penetapan keputusan pimpinan KPK tentang hasil asesmen tes wawasan kebangsaan yang tidak memenuhi syarat dalam rangka pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN.

“Salah satu diktum pada keputusan tersebut menyatakan, memerintahkan kepada pegawai yang tidak lolos TWK agar menyerahkan tugas dan tanggung jawab kepada atasan langsungnya sambil menunggu keputusan lebih lanjut alias nonaktif,” ungkap Azmi kepada Kabar7News di Jakarta, Rabu (12/5/2021).

Menurut Azmi, keputusan ini tergesa-gesa tidak berdasar hukum malah dapat diduga sebagai sebuah bentuk perbuatan kekeliruan kolektif yang bisa didesign menurut skenario tertentu.

“Karena semakin kesini alur dan potret dari revisi UU KPK tampak yang berlaku bukan lagi kekuasaan hukum melainkan hukum kekuasaan,” tambah Azmi.

Karenanya perlu, jelas Azmi, diingat bahwa kekuasaan tertinggi dalam negara kita adalah negara hukum bukan kemauan pejabat.

“Semestinya surat Keputusan tersebut seharusnya berisikan penetapan atas hasil asesmen TWK bukan penonaktifan pegawai,” ucap Azmi.

Azmi berpendapat bahwa tindakan pimpinan KPK ini menunjukkan bahwa pembusukan hukum telah terjadi, ini putusan ala kekuasaan, hukum sudah tidak dihormati, hukum itu tidak boleh diterapkan semau gue, yang ada nantinya akan menimbulkan keadilan yang liar.

Dia mengungkapkan, tindakan atas keputusan ketua KPK tersebut bertentangan dengan rasa keadilan yang lebih tinggi dalam hal ini tugas tugas yang sedang diemban atas perkara korupsi yang sedang ditangani oleh personil dari 75 orang yang tidak lulus TWK. Yang ada bila begini antara pimpinan KPK dan personilnya sedang berhadapan hadapan masalah internalnya dan para koruptor akan merasa menang atas perjalanan peta revisi uu KPK yang berdampak luar biasa ini.

Lebih lanjut, beber Azmi bahwa sikap Ketua KPK dengan membuat surat keputusan yang begini akan menimbulkan kemelut dan kontroversi, namun bagi pihak tertentu dan para oknum penguasa dan pengusaha curang menggagap ini merupakan langkah dan point yang diuntungkan apalagi bila sampai pihak pihak atau organ negara memilih untuk diam atas adanya surat keputusan ini

Selain itu, lebih ironis lagi putusan MK terkait pengujian UU KPK, dimana MK telah membuat putusan berkait hak pegawai yang tidak boleh dirugikan namun putusan MK ini diabaikan oleh ketua KPK , dimana semestinya putusan MK harus dijadikan pijakan penting sekaligus kebertundukan konkrit pimpinan KPK pada putusan MK, karena ketaatan pada putusan MK merefleksikan komitmen.

“Kedewasaan pimpinan KPK yang menasbihkan diri sebagai insan dalam negara hukum Indonesia yang menjunjung supremasi konstitusi,” tutup Azmi.

(red)