Kabar7News, Manokwari – Dalam rangka menumbuhkan kedekatan dengan Insan Pers yang berada diwilayah Papua Barat, jelang buka bersama dengan wartawan, Pangdam XVIII/Kasuari, Mayjen TNI Gabriel Lema, S.Sos., ajak rekan-rekan media coba fasilitas olah raga milik Kodam, Lapangan ‘4 in One’ dan ruang Fitnes Simon Mansim, Senin (25/4/2022).

Pangdam mengaku sangat terbantu dengan publikasi yang dilakukan awak media yang menjadi mitra kerja penting bagi Kodam VXIII/Kasuari dalam mengenalkan dan memberitakan tentang kegiatan Kodam, sehingga dapat dikenal luas oleh masyarakat Papua Barat khususnya.

Pangdam berharap, hubungan baik ini harus terus dijalin, kami akan terus bekerja sama dan membantu tugas jurnalistik rekan-rekan media dalam mendapatkan informasi tentang Kodam, kami juga berharap rekan-rekan media juga memberikan sumbang saran dalam memajukan Kodam XVIII/Kasuari kedepan, untuk memacu dan perbaiki diri agar mampu berikan yang terbaik dalam setiap pengabdianya.

Sementara itu, mewakili awak media, Ketua PWI Papua Barat, Bapak Bustam, berikan apresiasi atas perhatian Kodam kepada awak media selama ini, kami merasa dihargai dan terbantu dalam melaksanakan kewajiban kami sebagai jurnalis untuk memberikan informasi kepada masyarakat, “senang dengan respon Kodam dalam memahami tugas kami”, jelas Bustam

Pada acara tersebut juga diberikan baju olahraga dan topi yang didesain khusus untuk awak media, yang diberikan langsung kepada Ketua PWI Papua Barat, Bustam, mewakili wartawan yang hadir. Sambil datangnya waktu magrib untuk buka bersama, Pangdam hadir bersama Kapoksahli Pangdam Brigjen TNI Eko Purnomo, para Asisten dan Kapendam sendiri Kolonel Arm Hendra Pesireron.

(Pendam XVIII/Ksr)

Kabar7News, Bandung – Ingin lebih mengakrabkan diri dengan Wartawan Mitra Polda Jabar yang berkaitan dengan publikasi atau pemberitaan.

Demikian dikemukan Kapolda Jawa Barat, Irjen Pol Drs. Suntana, M.Si saat menggelar silaturahmi dengan Wartawan Mitra Polda Jabar di Aula Muryono, Jalan Soekarno Hatta 748 Bandung, pada Senin (15/11/2021) kemarin.

“Tolong rekan-rekan media agar bisa saling memberikan informasi dan berharap bisa menjadi tim, dalam menagani permasalahan-permasalahan yang terjadi di lapangan,” paparnya.

Suntana berharap agar kerjasama dan koordinasi yang baik antara Polri dan media dapat senantiasa dipertahankan serta ditingkatkan, guna mewujudkan situasi Kamtibmas yang aman, damai dan kondusif di wilayah hukum Polda Jabar.

Kegiatan silaturahmi ini merupakan sarana untuk meningkatkan hubungan komunikasi, koordinasi dan kerjasama yang selama ini telah terjalin dengan baik, sehingga terwujud sinergitas dan kemitraan antara Polri dengan media.

Diketahui saat ini publik sering menggunakan media sosial dalam kebebasan berekspresi, sehingga ekosistem media sosial penuh dengan informasi yang tidak terverifikasi secara akurat, benar dan profesional, dibandingkan media konvensional.

Turut hadir pada kesempatan tersebut, Waka Polda Jabar, Brigjen Pol. Drs. Eddy Sumitro Tambunan, Kabid Humas Polda Jabar beserta Pejabat Utama Polda Jabar.

(**)

Kabar7News, Jakarta – Abdullah Lahay sebagai wartawan tidak diragukan lagi pengabdiannya di bidang organisasi profesi Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Lahay yang akrab disapa Bang Dullah di lingkaran komunitas Gorontalo, kini telah pergi mendahului kita untuk selamanya.

“Dia merupakan wartawan senior yang pernah menjadi Pengurus Wartawan Indonesia (PWI) Jaya,” kata Abdul Ghofur, sahabat dekat Abdullah Lahay yang sama-sama pernah bekerja sebagai wartawan di Harian Terbit. Almarhum juga pernah menjadi Pengurus PWI Pusat, ketika PWI dipimpin oleh Ketua Umum Tarman Azzam.

Ketua Umum PWI Pusat Atal S. Depari merasa kehilangan atas meninggalnya Bang Dullah yang dia kenal sebagai wartawan yang menulis dengan baik, memberi keteladanan bagi wartawan lainnya.

“Saya sering membaca tulisan-tulisannya, terutama yang berkaitan dengan perkembangan Gorontalo,” kata Atal yang juga mengakui dedikasi almarhum dalam dunia wartawan patut diacungi jempol. Hingga akhir hayat Bang Dullah masih sebagai wartawan.

Abdul Ghofur menceritakan banyak kenangan bersama Bang Dullah, sewaktu aktif di Harian Terbit. “Beliau sebagai redaktur, sementara saya sebagai wartawan di DPR,” kenang Ghofur yang juga menulis kenangannya bersama almarhum di akun Facebook-nya.

Ghofur menerima kabar dari WhatsApp Grup mantan Harian Terbit, Bang Dullah meninggal Minggu, 3 Oktober 2021 Pukul 07.30 di kediamannya Jalan Delima 3/60 Klender, Jakarta Timur karena sakit.

Kabar duka itu menyebar cepat di grup-grup WhatsApp dan media sosial kalangan wartawan. Banyak wartawan yang turut berbela sungkawa atas kepergian Bang Dullah.

Kehilangan:
Wartawan senior yang merasa kehilangan dan turut mendoakan itu antara lain Ilham Bintang (Ketua Dewan Kehormatan PWI Pusat), Marah Sakti Siregar, Mahmud Marhaba, Eko Pamuji, Rony Simon, Suprapto, AR Loebis, Hermansyah, Datiz van Datu, Gunawan Setiadi, Mohammad Nasir dan Karim Paputungan.

Ghofur menuturkan, ketika masih bekerja dengan Bang Dullah, saat itu bertepatan dengan pemekaran dan pembentukan Provinsi Gorontalo.

Bang Dullah berperan dalam pembentukan opini publik, terutama agar maksud awal dibentuknya Provinsi Gorontalo mendapatkan dukungan masyarakat luas.
Apalagi pemekaran itu mendapat hambatan, bukan saja dari kelompok masyarakat yang tidak setuju, tapi juga beberapa tokoh daerah di pusat ikut-ikut menentang.

Sebagai peliput di DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Ghofur memiliki akses dengan Komisi II yang membidangi Pemerintah Dalam Negeri. Atas pesan Bang Dullah, dia berhasil mempertemukannya dengan HM La Ode Djeni Hasmar. La Ode sebagai koordinator pemekaran daerah seluruh Indonesia.

Pertemuan berlangsung baik, bahkan ditindaklanjuti dengan seminar dan dialog publik. Gaung bersambut. Puncaknya DPR menyetujui Gorontalo sebagai provinsi baru. Terpilih sebagai gubernur adalah Fadel Muhammad.

Bang Dullah belakangan menerbitkan dan memimpin koran Limbato Expres. “Saya dalam kapasitas sebagai Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) pernah berkunjung ke Gorontalo,” kata Ghofur.

Bang Dullah mengutus anak buahnya menjemput Ghofur di hotel. Mereka kemudian berkeliling, antara lain meninjau percetakan.

“Pak Ghofur, nama kita berdua seharusnya masuk dalam tugu prasasti sebagai ujung tombak pembentuk Provinsi Gorontalo,” kata Pak Dullah kepada Ghofur berkelakar.

Nur Alim, rekan almarhum seperti dikutip Ghofur mengungkapkan bahwa Bang Dullah juga menerbitkan tabloid perjuangan bernama “Swara Gorontalo”. Tabloid ini berkantor di kawasan Setia Budi Jakarta Selatan. Milik Karim Kono, tokoh Gorontalo, politisi dan pengusaha.

Nur Alim diajak bergabung sebagai editor tabloid tersebut. Sayangnya setelah Gorontalo menjadi provinsi terpisah dari Sulawesi Utara, tabloid “Swara Gorontalo” pun ditutup.

Abdullah Lahay, terakhir aktif sebagai komisaris sekaligus Pemimpin Redaksi media online Tilongkabila.

Selamat jalan Bang Dullah.
Semoga mendapat tempat terbaik di sisi Allah SWT.

(**)

Kabar7News, Jakarta – Para alumni Majalah Tempo menerbitkan dan meluncurkan buku baru. Biografi seorang tokoh senior di balik bisnis Tempo: Harjoko Trisnadi. Salah seorang pendiri Majalah Berita Mingguan Tempo.

Peluncuran buku berjudul: Harjoko Trisnadi Dari Jurnalis Mengelola Bisnis itu dilaksanakan, Selasa malam (22 Juni 2021) bersamaan dengan ulang tahun ke-91 sosok yang selama ini di berada di dapur bisnis Majalah Berita Tempo.

Acara peluncuran dilangsungkan secara virtual melalui aplikasi zoom yang diinisiasi Didi Prambadi, mantan wartawan Tempo yang kini bermukim di Philadelphia, AS. Didi juga adalah pengasuh majalah untuk komunitas Indonesia di sana.  Namanya Lantern Indonesia.

“Kita semua, terutama saya, amat mengenal Mas Harjoko Trisnadi. Dia salah satu sosok penting dalam perjalanan Majalah Tempo yang kini sudah berusia 50 tahun,” ujar Goenawan Mohamad, mantan pemred dan salah seorang pendiri Majalah Tempo ketika membuka acara peluncuran buku.

Dia bersyukur karena buku tentang sosok Pak HT begitu biasa Harjoko Trisnadi dipanggil akhirnya bisa diterbitkan. “Saat Tempo sudah berusia 50 tahun. Mas Harjoko berusia 91 tahun dan saya sendiri 80 tahun,” ujar GM pada acara daring yang diikuti 72 alumni Tempo, keluarga dan kerabat Pak HT.

Ikut hadir dan memberi selamat kepada Pak HT dalam acara itu, antara lain, Dahlan Iskan, Christianto Wibisono, dan Arif Zulkifli, kini Direktur Utama PT Tempo Inti Media.

Buku biografi Pak HT dirancang dan ditulis para alumni Tempo dalam rangka menyambut ulang tahun Tempo ke-50, Maret lalu. Diisi dengan Kata Pengantar oleh A. Margana, Prolog oleh Goenawan Mohamad, Epilog oleh Dahlan Iskan. Lalu, riwayat perjalanan hidup Harjoko Trisnadi ditulis oleh: Marah Sakti Siregar, Renville Almatsier, dan Tutty Baumeister.

Lahir di Demak, 22 Juni 1930, Pak HT atau nama awalnya Joppie Kho Tiang Hoen. Ia memulai karier sebagai wartawan di Majalah Star Weekly saat dipimpin tokoh pers Petrus Kanisius (P.K) Ojong salah satu pendiri Koran Kompas bersama Jacob Oetama pada tahun 1952. Ia banyak berguru dalam masalah jurnalisme dan pengelolaan media dari tokoh pers yang dikenal idealis dan pekerja keras itu.

Setelah sembilan tahun berkiprah dan sedang asyik-asyiknya menjadi wartawan, Star Weekly dibredel pemerintah Orde Lama tahun 1961. Penyebabnya, antara lain, karena tulisan-tulisan di majalah yang saat itu oplah mencapai  52.000 eksemplar–sering mengeritik policy luar negeri pemerintah. Menlu ketika itu dijabat Dr Soebandrio, sekutu dekat Bung Karno.

Lepas dari Star Weekly, Pak HT bersama beberapa seniornya eks Star Weely mendirikan Mingguan Djaja. Mereka bekerja sama dan didukung Gubernur DKI Jakarta waktu itu Dr. Soemarmo Sastroatmodjo.

Awalnya, sampai tahun 1965, Mingguan Jaya masih bisa eksis. Tapi setelah terjadi peristiwa G 30 S/ PKI tahun 1965  terjadi perubahan politik di Indonesia. Rezim Orla digantikan Orba. ABRI masuk ke dunia politik. Posisi Soemarmo digantikan Letjen KKO Ali Sadikin (1966).

Rezim Orde Baru memberi kebebasan pers. Sejumlah media yang sebelumnya dibredel, misalnya, Indonesia Raya (dipimpin Mochtar Lubis)dan Pedoman (dipimpin Rosihan Anwar) dibolehkan terbit lagi. Bersama mereka terbit juga beberapa media baru yang isinya tajam dan kritis. Misalnya, Kompas dan Harian KAMI. Mingguan Djaja yang kala itu diterbitkan  yayasan nirlaba milik Pemda DKI, Yayasan Jaya Raya, pun tersisih dan kehilangan pasar.

Lalu sekitar empat tahun kemudian, Ir.Ciputra, Ketua Umum Yayasan Jaya Raya dihubungi Lukman Setiawan yang baru mengundurkan diri dari Koran Kompas. Lukman Setiawan mengabarkan kepada Ciputra bahwa terjadi perpecahan di Majalah Berita Ekspres yang diterbitkan Goenawan Mohamad dkk bekerja sama (dimodali) tokoh pers pemilik Grup Koran Merdeka B.M Diah.

Tanggal 14-19 Oktober 1970 berlangsung Kongres Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) di Palembang. Awalnya dalam kongres itu terpilih Rosihan Anwar sebagai Ketua Umum PWI Pusat. Tapi sejumlah figur wartawan dari media yang pro pemerintah Orba menolak sosok Rosihan Anwar. Mereka mengadakan kongres tandingan dan memilih B.M Diah sebagai ketua umum.

GM mengeritik B.M Diah yang dinilainya menolak bermusyawarah dan membawa PWI bekerja sama dengan pemerintah.

B.M Diah yang membaca kritik GM di beberapa media, langsung berang. GM pun dipecat. Beberapa temannya para pengasuh  Ekspres, seperti Fikri Jufri, Christianto Wibisono, solider memihak GM. Mereka semua pun ikut dipecat.

Lukman Setiawan meminta Ciputra membantu para wartawan yang baru kehilangan pekerjaan itu.

Setelah berunding alot, tercapai kesepakatan pada akhir 1970. Yayasan Jaya Raya menjadi penerbit baru majalah berita yang mirip Ekspres. Namanya Majalah Berita Mingguan Tempo. Mulai terbit 6 Maret 1971.

GM memimpin barisan redaksinya. Sedangkan Ciputra kemudian menunjuk stafnya di PT Pembangunan Jaya Eric Samola bersama Harjoko Trisnadi untuk mengelola urusan bisnis majalah tersebut. Langkah baru Yayasan Jaya Raya itu sekaligus menjadi pamungkas ditutupnya Mingguan Djaja.

Dalam perjalanan ikut membesarkan Tempo sampai majalah itu kini berusia 50 tahun, Pak HT yang low profile, menjalani suka duka. Masa keemasan dan masa surut Tempo setelah dua kali mengalami pembredelan. Pertama, pembekuan SIUPP tahun 1982. Kedua, pembatalan SIUPP pada 21 Juni 1994. Bersama Majalah Berita Editor dan Tabloid Detik, Tempo dibredel pemerintah.

Menghargai kiprahnya yang berpuluh tahun setia mengurus media massa, Panitia Hari Pers Nasional pada tahun 2018 menganugerahkan Penghargaan Seumur Hidup (Lifetime Award) kepada Harjoko Trisnadi.

(ketty)

Kabar7News, Jakarta – Mara Salem Harahap, wartawan yang juga pimpinan redaksi media online lassernewstoday.com, tewas ditembak orang tak dikenal atau OTK, Sabtu dinihari, 19 Juni 2021. Wartawan yang akrab dipanggil Marshal itu harus meregang nyawa sebelum tiba di RS Vita Insani Kota Siantar, Sumatera Utara, akibat luka tembak yang dideritanya. Tewasnya wartawan yang terkenal vokal dan berani tersebut diduga terkait pemberitaan-pemberitaan di media yang dipimpinnya.

Kematian Marshal menambah panjang peristiwa duka bagi kalangan pers di tanah air. Kematian dan ancaman pembunuhan seakan telah menjadi bagian dari kehidupan para jurnalis di negeri yang menjunjung tinggi demokrasi dan supremasi hukum ini. Nyawa selembar yang dimiliki para kuli digital itu selalu menjadi incaran bagi setiap pihak yang tidak ingin perilaku bejatnya menjadi konsumsi publik.

Terkait kejadian mengenaskan yang menimpa wartawan di Kabupaten Simalungun, Provinsi Sumatera Utara itu, Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, menyampaikan keprihatin yang sangat mendalam dan turut berbelasungkawa bersama keluarga korban. Tokoh pers nasional yang selalu gigih membela wartawan ini mengutuk keras perbuatan keji yang menimpa jurnalis Mara Salem Harahap.

“Atas nama PPWI dan kemanusian, kita mengutuk keras perbuatan keji yang dilakukan OTK itu terhadap rekan jurnalis Marshal. Kejadian mengenaskan ini menjadi salah satu indikator buruknya perlakuan oknum masyarakat terhadap wartawan. Pembunuh itu dapat diduga memiliki motivasi dan itikat buruk terhadap dunia jurnalistik dan pemberitaan,” tegas Wilson Lalengke, Sabtu (19/6/2021).

Peristiwa demi peristiwa yang bertujuan menistakan profesi wartawan kerap menimpa kalangan pekerja media selama ini. Pengancaman, pemenjaraan, penyerangan properti milik wartawan, intimidasi, dan pemberian cap negatif terhadap jurnalis, terjadi hampir setiap waktu. Dari catatan redaksi, diketahui bahwa dalam sebulan terakhir, terjadi beberapa kasus besar yang menimpa wartawan dan keluarganya di Sumatera Utara. Pada 29 dan 31 Mei 2021, misalnya, terjadi percobaan pembakaran rumah jurnalis media online linktoday.com dan pembakaran mobil wartawan Metro TV di Sergai. Kemudian, pada 13 Juni 2021, terjadi lagi pembakaran rumah orang tua jurnalis di Binjai, dan pada 19 Juni 2021, Marshal tewas ditembak OTK.

“Belum lagi di tempat lain, demikian banyak tak terbilang peristiwa tragis yang harus dihadapi para wartawan dan pewarta setiap harinya. Sudah begitu, dengan seenak perutnya seorang bupati di Bogor mengeluarkan pernyataan yang melecehkan teman-teman jurnalis. Bukan membenahi aparat desanya, malah wartawan yang dituding macam-macam,” ujar Alumni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012 itu dengan mimik prihatin.

Melihat kondisi kehidupan pers yang selalu berhadapan dengan ancaman pembunuhan dan perlakuan buruk lainnya dalam melaksanakan tugas jurnalistiknya, Lalengke menghimbau kepada seluruh wartawan dan pewarta di manapun berada agar meningkatkan kewaspadaan.

“Saya menghimbau kepada seluruh teman-teman pekerja media, baik reporter, kameramen, kontributor, pimpinan redaksi, editor, penulis lepas, dan semuanya, untuk meningkatkan kepedulian terhadap keselamatan diri, selalu waspada di segala tempat dan waktu. Jika Anda dalam ancaman, segera berkoordinasi dengan rekan media lainnya, cari tempat yang dirasa aman untuk mengamankan diri sementara sambil menunggu bantuan atau situasi menjadi lebih kondusif. Intinya, letakan kewaspadaan pada level tertinggi dalam memori insting kawan-kawan,” kata Lalengke berpesan.

Terkait peristiwa pembunuhan wartawan di Sumatera Utara itu, Lalengke juga menyentil peran negara yang terkesan abai dalam memberi perlindungan kepada rakyatnya yang berprofesi dan beraktivitas di dunia pers. Pria yang menyelesaikan studi pasca sarjananya di bidang Etika Terapan di Universitas Utrecht, Belanda, dan di Universitas Linkoping, Swedia, itu mengatakan bahwa di setiap kejadian buruk yang menimpa wartawan, pemerintah dan aparat terlihat santai, seakan menganggap bahwa penyerangan terhadap wartawan adalah sebuah konsekwensi logis yang sudah seharusnya dan wajar terjadi terhadap wartawan.

“Diakui atau tidak, umumnya para oknum pemangku kepentingan di pemerintahan, juga oknum pengusaha, apalagi mafia, pasti resisten terhadap wartawan. Mengapa? Karena wartawan adalah kelompok warga yang kritis, kepo urusan orang, dan selalu ingin melakukan koreksi atas segala sesuatu yang mereka lihat dan anggap tidak sesuai dengan yang seharusnya dilakukan oleh para oknum pejabat dan pengusaha itu,” beber Lalengke.

Dalam konteks itulah, kata Lalengke lagi, lembaga semacam Dewan Pers seharusnya tampil menjadi benteng dan banteng pembela jurnalis. “Bagaimana mungkin kemerdekaan pers akan berkembang dan lestari jika para wartawan dibiarkan membela dirinya sendiri menghadapi salakan senjata api dan kekuatan uang saat melakukan tugas-tugas jurnalistiknya? Makanya saya selalu bilang bubarkan saja Dewan Pers itu, tidak ada gunanya bagi wartawan, lembaga itu selama ini hanya bermafaat bagi kalangan tertentu saja, terutama bagi oknum penguasa dan pengusaha, termasuk pengusaha media yang bercokol di lembaga itu,” jelas mantan Kepala Sub Bidang Program pada Pusat Kajian Hukum Sekretariat Jenderal DPD RI ini.

Oleh karena itu, lanjut Lalengke, dia meminta kepada Pemerintah Republik Indonesia untuk memberikan perhatian dan kepedulian terhadap hak hidup wartawan di negeri ini. Menurutnya, negara ini dimerdekakan dan dibangun di atas jerih payah para wartawan juga.

“Kemampuan intelektual, keberanian mengambil resiko, dan konsistensi pada perjuangan menentang penindasan manusia oleh sesama manusia yang dimiliki setiap wartawan, merupakan modal besar dalam meraih kemerdekaan. Sifat-sifat hakiki para wartawan itu semestinya dihargai dan diberdayakan dalam mengisi kemerdekaan dan mewujudkan cita-cita perjuangan bangsa. Jadi, jangan biarkan jurnalis bertumbangan dibunuh, diancam, dipenjarakan, dicaci-maki, dan dinistakan di sana-sini karena aktivitasnya sebagai jurnalis. Presiden harus perintahkan Kapolri agar memberantas habis para preman pembunuh dan pengancam wartawan, termasuk yang senang mencap aneh-aneh para wartawan Indonesia,” tukas Wilson Lalengke yang juga menjabat sebagai Presiden Persaudaraan Indonesia Sahara Maroko (Persisma) itu mengakhiri pernyataannya.

(**)

 

Tidak Ada Postingan Lagi.

Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.