Kabar7News, Jakarta – Menyikapi kondisi penyebaran Virus Corona atau Covid-19 hari-hari ini, banyak daerah yang sudah menerapkan kebijakan Karantina Wilayah. Kebijakan tersebut mewajibkan semua warga harus tinggal di rumah  (Stay at Home) dan melakukan pekerjaan dari rumah (Work from Home) Anak sekolahpun sudah diliburkan hampir dua minggu berjalan, dan mewajibkan para siswa belajar dari rumah (Online Learning).

Bagi beberapa kelompok warga, kebijakan lock-down ala Indonesia (baca: karantina biaya mandiri) itu tidak begitu merepotkan, terutama bagi mereka yang berstatus sebagai pegawai pemerintah atau pengusaha. Kelompok warga ini, walau di level kepegawaian rendahan sekalipun, masih memiliki harapan untuk mendapatkan tunjangan pembiayaan hidup sehari-hari. Minimal dari gaji bulanan mereka.

Namun, bagi sebagian besar rakyat, kebijakan stay at home merupakan sesuatu yang sangat merisaukan. Karyawan atau buruh pabrik, pedagang kaki lima, dan tukang ojek adalah beberapa kelompok masyarakat yang hidupnya hanya berharap dari kerja harian. Uang yang didapat hanya cukup untuk biaya hidup dari hari ke sehari. Dapat uang hari ini, habis untuk biaya hari ini, kadang tidak cukup.

Kondisi itu merupakan situasi yang dihadapi ratusan ribu jurnalis se-Indonesia. Kehidupan mereka juga amat memprihatinkan, hidup sehari ke sehari dengan pendapatan yang seadanya. Wartawan Indonesia adalah salah satu kelompok rakyat yang selama ini terabaikan di negerinya sendiri. Taraf perekonomian kebanyakan para jurnalis tergolong berada di bawah garis pra-sejahtera (untuk tidak mengatakan garis kemiskinan).

Terdapat beberapa faktor yang membuat kesejahteraan para jurnalis di tanah air sulit beranjak naik. Jangankan untuk menabung, pendapatan sehari-hari saja hanya cukup untuk biaya keseharian keluarganya. Jikapun ada wartawan yang sejahtera, umumnya mereka adalah pemilik media atau jurnalis yang mempunyai bisnis di luar jurnalistik.

Beberapa perusahaan media yang memiliki ribuan wartawan, sebutlah Kompas sebagai contoh, dapat memberikan penghasilan yang hampir memadai bagi wartawannya. Perusahaan media nasional itu memiliki beberapa jaringan bisnis non-jurnalitik, seperti properti, perhotelan, hingga perkebunan dan pertambangan. Hal tersebut menjadikan Kompas dapat bertahan di tengah gelombang dasyat kemajuan media online yang tidak dapat dimonopoli oleh media tertentu saja.

Walaupun begitu, pola pemberian gaji bagi para wartawan media nasional sebesar Kompas, tidaklah sama alias tidak merata bagi ribuan wartawannya itu. Kinerja sang wartawan amat menentukan penghasilan yang bersangkutan. Dengan kebijakan media besar seperti ini, tentunya masih menyisakan banyak rekan wartawannya yang hidup pas-pasan, dapat sehari, habis sehari.

Jika kondisi kalangan jurnalis yang bekerja di media-media besar, yang mempunyai jaringan bisnis beromset miliaran hingga triliunan, masih cukup memprihatinkan, maka dapat dibayangkan kehidupan para jurnalis di daerah-daerah yang hanya bermodal idealisme dan semangat empat-lima. Bekerja dengan bermodal sebuah android untuk merekam hasil wawancara sekaligus mengambil foto sang narasumber dan obyek berita, tentunya tidak akan memberikan hasil (pendapatan) yang cukup.

Akibatnya, di saat-saat genting masa karantina seperti sekarang, kalangan jurnalis merupakan kelompok rakyat yang amat rapuh dari sisi ekonomi. Sebagian besar mereka tidak memiliki persediaan kebutuhan hidup, tidak juga memiliki tabungan dana yang memadai untuk menjalani masa stay at home, walau untuk beberapa hari sahaja. Jika sang wartawan memiliki keluarga dengan jumlah anak yang cukup banyak, semisal 3 atau 4 orang, tentunya menjadi beban yang sangat berat baginya.

Wartawan tidak akan pernah berputus asa, apalagi mengeluh, terlebih lagi mengemis kepada siapapun. Idealisme seorang wartawan yang selalu siap untuk hidup menderita merupakan pegangan utama bagi mereka. Jangan pernah berharap bahwa wartawan akan datang ke pemerintah, baik pusat maupun daerah, untuk sekedar meminta bantuan. Justru, para jurnalis sejati akan bergerak untuk menggalang kekuatan dalam mengatasi masalah yang dihadapi masyarakat. Wartawan hanya lantang suara ketika memperjuangkan rakyat, tetapi diam seribu bahasa jika bicara soal nasib-hidupnya sendiri.

Walaupun wartawan diam, janganlah beranggapan mereka kuat dan mampu bertahan tanpa makan-minum sehari-hari. Wartawan tetaplah manusia. Mereka butuh asupan makanan untuk tetap bisa hidup. Mereka juga butuh menghidupi anak-istrinya sebagai bagian dari tanggung jawab kemanusiaannya di keluarganya.

Pemerintah semestinya tidak melupakan kalangan jurnalis sebagai bagian dari rakyat Indonesia yang wajib diayomi dan dilindungi hidupnya. Berikan akses ke sumber-sumber ekonomi yang ada di lingkungan pemerintah, baik dari alokasi anggaran APBN/APBD maupun bentuk bantuan lainnya. Pemanfaatan keuangan yang bersumber dari dana CSR (Corporate Social Responsibility) perusahaan-perusahaan yang ada di daerah masing-masing dapat dimaksimalkan membantu warga masyarakat terdampak, termasuk kalangan wartawan.

Paling penting dari semua ini adalah bahwa para pengambil kebijakan di pemerintahan daerah semestinya peka terhadap kebutuhan warganya, terutama dari kalangan “pendiam” wartawan. Mereka adalah bagian dari tanggung jawab Anda, karena mereka adalah rakyat Anda. Saya hanya menyuarakan keresahan ratusan ribu wartawan se-nusantara, yang tidak pernah mereka utarakan, bahkan kepada sayapun tidak pernah.

Penulis: Ketua Umum PPWI, Alummni PPRA-48 Lemhannas RI tahun 2012, Wilson Lalengke.

Kabar7News, Jakarta – Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI) sepenuhnya mendukung penyusunan dan penetapan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, serta tidak mendukung segala statement yang disuarakan di ruang publik oleh segelintir organisasi pers underbow Dewan Pers bahwa wartawan Indonesia menolak RUU tersebut.

Hal itu disampaikan Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke dan Sekretaris Jenderal H. Fachrul Razi, Rabu (19/2/2020) dalam pernyataan sikap PPWI terhadap pernyataan Dewan Pers bersama Underbow-nya atas RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

Wilson menambahkan, dikeluarkan pernyataan tersebut mengigat beredarnya secara luas undangan jumpa pers Pernyataan Sikap Bersama PWI, IJTI, AJI dan LBH Pers, pada Selasa 18 Febuari 2020 yang memuat beberapa poin berkenaan penolakan atas RUU Omnibus Law Cipta Kerja, dan pernyataan mereka bersama Dewan Pers yang seolah-olah mewakili seluruh wartawan Indonesia.

Ditegaskan Wilson, Dewan Pers, bersama segelintir organisasi pers underbow-nya tidak dibenarkan mengklaim diri mewakili masyarakat pers Indonesia. Apalagi kata Wilson, jumlah konstituen Dewan Pers hanya secuil saja dibandingkan dengan ratusan ribu wartawan dan jutaan pewarta warga yang tergabung dalam berpuluh-puluh organisasi pers berlegalitas Kementerian Hukum dan HAM yang tidak menjadi follower dan tidak mengakui eksistensi kepengurusan Dewan Pers saat ini.

Sambungnya, sehubungan dengan hal tersebut, dimaklumkan kepada seluruh rakyat Indonesia bahwa pernyataan sikap bersama beberapa organisasi pers yang dimotori Dewan Pers tersebut tidak mewakili suara masyarakat pers Indonesia.

Akan tetapi, hal itu merupakan suatu pemikiran sesat yang dikembangkan oleh segelintir organisasi underbow Dewan Pers selama ini yang menyimpang dari ketentuan UU No. 40 tahun 1999 terkait kewenangan Dewan Pers.

“Dari 21 pasal UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers tersebut, tidak ada satu pasal atau ayat atau huruf pun yang memberikan kewenangan bagi Dewan Pers untuk membuat peraturan teknis tentang pers,” tegas Wilson.

Dewan Pers, tambahnya, bukanlah regulator pers. Sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf (e) UU No. 40 tahun 1999, pembuatan dan penetapan peraturan teknis bidang pers dilakukan oleh organisasi-organisasi pers masing-masing untuk menjadi pedoman teknis kewartawanan bagi anggota di internal organisasi masing-masing.

“Di organisasi pers inilah makna kemerdekaan dan independensi pers itu dipatrikan, sebagai kanalisasi suara rakyat yang merdeka dan berdaulat, terhindar dari kepentingan politik, kekuasaan, agama, suku, ras, dan anasir sektarian lainnya,” ujarnya.

Secara umum, tambahnya lagi, PPWI mendukung penyusunan dan penetapan RUU Omnibus Law Cipta Kerja, serta tidak mendukung segala statement yang disuarakan di ruang publik oleh segelintir organisasi pers underbow Dewan Pers bahwa wartawan Indonesia menolak RUU tersebut.

(Red)

Kabar7News, Jakarta – Seorang ibu di Medan saat ini sedang digiring ke meja hijau. Namanya Febi Nur Amelia (29). Ia didakwa melanggar pasal 45 ayat (3) jo pasal 27 ayat (3) UU ITE, terkait perbuatan pencemaran nama baik. Dikutip dari kumparan.com, perkara muncul karena Febi menagih utang ke temannya, Fitriani Manurung, sebesar Rp 70 juta lewat Instastory (media sosial Instagram).

Postingan Instastory dengan akun @feby25052 yang dipersoalkan berbunyi: _“Seketika teringat sama ibu kombes yg belum bayar hutang 70 juta tolong bgt donk ibu dibayar hutangnya yg sudah bertahun-tahun @fitri_bakhtiar. Aku sih y orangnya gk ribet klo lah mmng punya hutang ini orang susah bgt pastinya aku ikhlaskan tapi berhubung beliau ini kaya raya jadi harus diminta donk berdosa juga klo hutang gk dibayar kan @fitri_bakhtiar. Nah ini yg punya hutang 70 juta ini foto diambil sewaktu dibandarjakarta horor klo ingat yg beginian mati nanti bakal ditanya lho soal hutang piutang.”_ (@fitri_bakhtiar adalah Firiani Manurung – red).

Di Sumatera Barat, Sudarto ditangkap atas delik pasal UU yang sama. Aktivis pluralisme itu dinilai telah meresahkan masyarakat di dua kabupaten (Sijunjung dan Dharmasraya) akibat beberapa postingannya di media sosial terkait pelarangan perayaan natal di dua wilayah tersebut.

_”Tersangka dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian”._ Demikian keterangan Kabid Humas Polda Sumatera Barat Kombes Stefanus Satake Bayu. Sayangnya tidak didapatkan informasi tentang pihak yang melaporkan Sudarto ke polisi berkenaan kasus ini.

Sebelum ini, sudah tidak terhitung lagi korban yang berjatuhan oleh UU ITE (Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik) itu. Sebutlah beberapa yang sempat mencuat ke permukaan, seperti kasus Prita Mulyasari versus RS Omni International Tangerang tempat ia berobat, Baiq Nuril Maknun versus Kepsek SMAN 7 Mataram tempat ia bekerja sebagai honorer, dan Galih Ginanjar versus mantan istrinya, Fairuz A Rafiq.

Di kalangan jurnalis atau wartawan, jerat UU ITE juga sungguh luar biasa. Korban yang tersengat oleh UU ini hampir merata di seluruh nusantara. Sebutlah kasus Umar Effendi dan Mawardi, wartawan beritaatjeh.net di Lhokseumawe, Slamet Maulana, wartawan beritarakyat.com di Sidoarjo, dan Supriadi Dadu, wartawan media cetak di Bolaang Mongondow. Yang paling tragis adalah kasus wartawan Sinar Pagi Baru, Muhammad Yusuf, yang meregang nyawa di penjara akibat delik UU ITE.

Pemenjaraan warga masyarakat berbasis UU ITE bernuansa politik tidak kalah hebatnya. Buni Yani, Ahmad Dhani, dan Bambang Tri Mulyono adalah beberapa di antaranya. Tidak kurang dari delapan orang didakwa melanggar UU ITE terkait peristiwa penyerangan terhadap Wiranto beberapa waktu lalu. Bahkan, seorang Dandim harus rela dicopot jabatannya akibat ciutan istrinya terkait penusukan Wiranto di Pandeglang tersebut.

Terlepas dari proses hukum yang sudah dan sedang berjalan, patut kita bertanya apakah UU ITE ini berfungsi dengan benar dalam mewujudkan tujuan hukum yang ingin dicapai? Jika pelanggar sebuah peraturan semakin banyak jumlahnya, maka dapat diduga bahwa aturan tersebut gagal _(failure)_. Dengan kata lain, jika sebuah UU tidak mampu memaksa masyarakat untuk tidak melakukan sebuah perbuatan yang dilarang, tidak menimbulkan efek jera bagi orang lain, maka UU tersebut mesti dipertanyakan keabsahannya.

Setiap orang dapat saja beragumen bahwa semakin banyak pembunuh, pencuri, perampok, pengedar narkoba, dan tindak kriminal lainnya, padahal sudah ada UU atau KUHP yang melarangnya. Apakah itu berarti UU tidak berfungsi alias gagal? Ya, hampir semua UU, untuk tidak mengatakan semua, yang berlaku di negara ini tidak berfungsi sebagaimana mestinya alias gagal total. Buktinya? Direktorat Jenderal Pemasyarakatan kalang-kabut dalam menyediakan ruang tahanan yang makin hari makin sumpek kelebihan muatan _(over capacity)._

Bercermin dari bangsa-bangsa maju lainnya di dunia, seperti Jepang, Belanda, dan Swedia, yang tingkat kriminalitas warganya amat rendah, tentu ada resep ‘Undang-Undang’ ampuh yang semestinya dapat diterapkan di bangsa kita. Tugas para pemangku kepentingan hukumlah yang harus mempelajari dan mencoba mengaplikasikannya dalam pengendalian perilaku warga masyarakat di negara ini.

Kembali ke persoalan UU ITE. Sudah banyak orang yang mempertanyakan dan meminta peninjauan kembali UU ITE, bahkan meminta penghapusan pasal-pasal yang terkait dengan penyebaran informasi oleh masyarakat. Sejak 2009 hingga kini, telah beberapa kali dilakukan pengajuan judicial review UU ITE ke Mahkamah Konstitusi, khususnya pasal 27 ayat (3) jo pasal 45 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tersebut. Namun gagal, JR selalu ditolak MK.

Tanpa bermaksud mengurangi penghormatan kepada pembuat UU ITE dan MK, namun secara kasat mata, dengan logika sederhana, kita dapat menyimpulkan beberapa hal tentang UU ITE, sebagai berikut:

1. Pasal 27 ayat (3) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945. Pasal 28F dari UUD ini menyatakan bahwa “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Dalam pasal ini jelas tersurat bahwa setiap orang berhak untuk menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.” Hanya manusia dengan akal sakit yang mengatakan bahwa pasal 27 ayat (3) UU ITE itu tidak bertentangan dengan pasal 28F UUD 1945.

2. Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak sejalan dengan TAP MPR RI Nomor XVII Tahun 1998. Pasal 14 dari TAP MPR ini menyatakan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati Nurani”. Selanjutnya, kebebasan mengeluarkan pendapat dipertegas lagi dalam pasal 19 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat”. Pasal 21 memberi pengakuan yang sejalan dengan pasal 28F UUD 1945 yang menegaskan bahwa “Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”. Dengan menggunakan akal sehat yang sederhanapun, dengan mudah dapat dilihat bahwa pasal 27 ayat (3) UU ITE telah mengangkangi pasal-pasal yang termaktub dalam TAP MPR Nomor XVII Tahun 1998 ini.

3. Pasal 27 ayat (3) UU ITE kontradiktif dengan UU Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia. Pada pasal 23 ayat (2) dinyatakan bahwa “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak maupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”. Selanjutnya, pasal 67 UU HAM ini menegaskan tentang kewajiban dasar setiap warga negara Indonesia dengan menyatakan bahwa “Setiap orang yang ada di wilayah negara Republik Indonesia wajib patuh pada peraturan perundang-undangan, hukum tak tertulis, dan hukum internasional mengenai hak asasi manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia”. Kewajiban untuk mematuhi UU HAM dan Deklarasi HAM PBB juga dibebankan kepada Pemerintah, sebagaimana bunyi pasal 71 “Pemerintah wajib dan bertanggung jawab menghormati, melindungi, menegakkan, dan memajukan hak asasi manusia yang diatur dalam Undang-undang ini, peraturan perundang-undangan lain, dan hukum internasional tentang hak asasi manusia yang diterima oleh negara Republik Indonesia”. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa pada hakekatnya penggunaan UU ITE untuk meniadakan HAM mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat merupakan pelanggaran serius terhadap UU Nomor 39 Tahun 1999 ini, alias kontradiksi antar UU.

4. Pasal 27 ayat (3) UU ITE tidak sejalan dengan Piagam HAM PBB. Pasal 19 Piagam HAM PBB menetapkan bahwa “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas. _(Article 19: Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers)”._ Penerapan UU ITE yang jelas-jelas mengingkari Piagam HAM PBB itu menjadi salah satu penyebab Indonesia selalu mendapat nilai buruk oleh Badan HAM Internasional dalam implementasi HAM di bangsa ini.

5. Pasal 27 ayat (3) dan pasal 45 ayat (1) UU ITE secara sadar atau tidak telah menjadi tembok pengaman bagi pelaku tindak kriminal. Dalam banyak kasus yang bergulir ke pengadilan terkait pelanggaran pasal 27 ayat (3) UU ITE, para terdakwa dihukum karena telah menyampaikan informasi penting tentang perilaku jahat yang dilakukan oleh oknum tertentu. Jikapun belum masuk ranah tindak pidana, namun perilaku oknum yang ‘dipublikasikan’ warga itu merupakan sikap dan tindakan yang tidak pantas, melanggar tata krama, dan tidak bermoral. Oknum obyek pemberitaan selalu akan menggunakan UU ITE sebagai pisau untuk menusuk balik sang penyampai informasi tentang kebejatan perilakunya. Sayangnya, banyak oknum aparat hukum yang memanfaatkan situasi ini untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya.

6. Pasal 27 ayat (3) dan pasal 45 ayat (1) UU ITE memberangus demokrasi. UU ITE sering dijadikan alat bagi para pejabat untuk menjerat warganya ke ranah hukum. Sebagian lagi menjadikan UU ini untuk menakut-nakuti warga agar sang pejabat tetap aman dalam melakukan tindak kejahatannya. Screen shot tulisan bernada kritis rakyat kepada pejabat dan pemimpinnya sering dijadikan barang bukti untuk memenjarakan warga masyarakat yang sudah memilih mereka menjadi pejabat. Ungkapan kekecewaan rakyat terhadap kepemimpinan pejabat sering menghantarkan si rakyat yang memberi makan pejabatnya itu harus berurusan dengan UU ITE di pengadilan. Keberadaan UU ITE benar-benar efektif dalam membungkam suara rakyat.

Akhirnya, jika kondisi ini terus dibiarkan berlanjut, tidak mustahil suatu saat nanti negeri ini sepi dari suara rakyat. Pada saat itu, yang terdengar hanya ajakan mari menundukkan kepala sambil berucap, “Turut berbelasungkawa atas kematian demokrasi Indonesia”. Rest in Peace Bro!

Penulis: Wilson Lalengke

Kabar7News, Jakarta – Bukan latah. Tetapi faktanya para lulusan Uji Kompetensi Wartawan (UKW) gagal menunjukkan kompetensinya dalam berkarya sebagai wartawan. Minimal, mereka masih gagap dalam menjalankan profesinya sebagai jurnalis. Justru sebaliknya, tak terhitung banyaknya wartawan tanpa sertifikat UKW yang kinerjanya sangat profesional di berbagai media mainstream, baik di dalam maupun di luar negeri.

Banyak sekali contoh lulusan UKW tanpa kompetensi yang dapat ditemukan dimana-mana. Sebut saja seorang wartawan di Bangka Belitung bernama Romlan. Romlan adalah pemegang Sertifikat Wartawan Utama yang dikeluarkan oleh Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers. Ia dinyatakan lulus UKW yang diadakan oleh PWI dan Dewan Pers.

Apa nyana, yang bersangkutan justru menjadi penyebar berita bohong (hoax). Media yang digunakannya untuk menyebarkan karya hoax, www.kabarbangka.com, itupun sudah juga terverifikasi Dewan Pers. Hal ini semestinya tidak hanya menjadi preseden buruk yang memalukan, namun harus menjadi koreksi total bagi para pemangku kepentingan pers di Indonesia. Program UKW itu adalah sesuatu yang amat keliru dan harus dihentikan.

Sayang sekali, Kementerian Dalam Negeri RI (Kemendagri) yang menjadi obyek pemberitaan bohong sang wartawan, yang sedianya akan menyeret lulusan UKW abal-abal PWI dan Dewan Pers itu ke ranah hukum, harus berdamai dengan keadaan. Kasus tersebut dinyatakan closed, diduga kuat demi menjaga marwah Dewan Pers, kaki tangan Pemerintah yang didanai APBN melalui Kementerian Kominfo. Hasilnya, tautan berita terkait komplain Kemendagri atas pemberitaan jebolan SMP, Romlan, di Kabarbangka.com raib dari situs kemendagri.go.id.

Ada juga kasus UKW yang aneh bin ajaib. Seorang Zurinaldi, peserta UKW di Riau, dinyatakan tidak lulus UKW. Bagaimana mungkin proses UKW itu dapat dipandang benar dan valid ketika peserta yang kompetensinya di bidang video editing itu diberikan materi ujian untuk kompetensi reporter? Zurinaldi ini sudah menjalani profesinya sebagai video editing di sebuah perusahaan media periklanan di Singapore selama beberapa tahun sebelum “dipaksa” oleh media Riau Citra Televisi, tempatnya bekerja yang baru, mengikuti UKW sontoloyo tersebut.

Kembali ke pokok persoalan, mengapa UKW tidak menjamin kompetensi dalam menjalankan profesi sebagai wartawan? Sama seperti di dunia pendidikan pada umumnya, kompetensi tidak ditentukan oleh ujian atau tes kelulusan. Ujian hanya dilakukan untuk mengukur kemampuan kognitif seseorang. Sementara kompetensi merupakan ranah afektif dan psikomotorik manusia. Kompetensi hanya dapat diukur menggunakan variabel competency assessment.

Asesmen Kompetensi itu mengacu kepada sistim pembelajaran yang fokus pada usaha menemukan kendala atau hambatan dan mencari alternatif pemecahan masalah terhadap kendala kompetensi dan kinerja seseorang. Asesmen Kompetensi memandang bahwa semua orang sesungguhnya memiliki kompetensi atau kemampuan atau talenta. Tidak seorangpun yang lahir ke dunia ini tanpa dibekali talenta oleh Sang Pencipta.

Nah, ketika kompetensi yang dimiliki seorang manusia tidak mewujud secara maksimal dalam kinerja kesehariannya, maka yang diperlukan adalah meng-asesmen kompetensi yang bersangkutan. Melalui asesmen kompetensi dapat dilihat berbagai hambatan yang dialami seseorang dalam menjalankan misinya, mewujudkan karya terbaiknya. Ketika hambatan-hambatan telah diketahui, selanjutnya dapat dianalisis dan ditetapkan berbagai alternatif jalan keluar untuk mengatasi atau menyiasati kendala-kendala itu.

Sebagai unsur yang masuk ranah afektif dan psikomotorik, maka kompetensi seorang wartawan tidak hanya diukur dari sisi pengetahuan dan kemampuan menghasilkan karya jurnalistik. Kompetensi kewartawanan seseorang semestinya dinilai secara kwalitatif dari sisi karakternya sebagai wartawan. Idealisme kewartawanan yang meliputi: kejujuran, integritas, semangat pantang berputus asa, kepedulian sosial, dan ketulusan hati, harus menjadi karakter harga mati bagi seseorang wartawan. Unsur-unsur inilah yang semestinya di-assesment dalam rangka meningkatkan profesionalitas setiap wartawan.

Nadiem Makarim, Menteri Pendidikan RI, telah menghapus Ujian Nasional (UN) dan berbagai bentuk ujian bagi anak didik di semua jenis dan jenjang pendidikan. Menurutnya, UN dan bermacam ujian itu tidak menjamin kompetensi seorang lulusan. Nadiem juga dengan tegas menyatakan bahwa sertifikasi lembaga pendidikan tidak menjamin mutu lembaga penerima piagam-piagam sertifikasi.

Maka, seharusnya Dewan Pers bersama para penyelenggara UKW itu memiliki rasa malu untuk tetap memaksakan pelaksanaan UKW terhadap wartawan. Bukan hanya karena tidak menjamin lulusannya memiliki kompetensi kewartawanan, tetapi lebih daripada itu, UKW adalah produk ilegal Dewan Pers bersama organisasi pers kroni-kroninya. UKW adalah program akal-akalan Dewan Pers tanpa dasar hukum yang jelas.

Penulis : Wilson Lalengke

 

 

 

Kabar7News, Depok – Ketua Umum Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI), Wilson Lalengke, S.Pd, M.Sc, MA, melantik pengurus DPC PPWI Kota Depok periode 2019-2024, Rabu (23/10/2019), bertempat di Gedung Perpustakaan Pemda Kota Depok.

Hadir dalam pelantikan ini diantaranya Peltu Rohidi Perwakilan Kodim 0508 Kota Depok, AKP Suhardi Waka Polsek Kota Depok, Dindin Syarif perwakilan Kemenag Kota Depok, perwakilan ormas, siswa-siswi pelajar Kota Depok dan sejumlah tamu undangan.

Riki selaku ketua panitia dalam kata sambutannya menyebutkan bahwa dalam pelantikan DPC PPWI Kota Depok akan dirangkaikan dengan penyuluhan Anti Narkoba oleh Brigjen. Pol. Dr. Victor Pudjiadi, SpB, FICS, DFM.

“Diharapkan dengan pelantikan ini, PPWI bisa bersinergi dengan Pemda Kota Depok, TNI, Polri dan Forkopimda serta seluruh SKPD,” ujarnya.

“Dengan pelantikan ini juga bisa menambah erat silaturahmi dan kerjasama yang baik dengan sesama pewarta dan wartawan di Kota Depok,” harapnya.

Sementara Ketua DPC PPWI Kota Depok, Hardian Hartono seusai dilantik mengatakan, hari ini bersejarah bagi PPWI Kota Depok. Saya sangat bangga dan mengapresiasi Ketua Umum yang telah mempercayakan saya sebagai Ketua DPC PPWI Kota Depok.

“Terima kasih kepada Pemda Kota Depok yang telah membantu hingga terlaksananya pelantikan ini,” ucapnya.

Ditegaskannya, PPWI Kota Depok siap bersinergi dengan Pemda dan Forkopimda. “Tetapi tidak mengurangi rasa kritis kami dalam rangka kritik yang membangun,” demikian tandasnya.

Sementara Ketua Umum PPWI, Wilson Lalengke dalam salam penutupnya menyampaikan salam semangat kepada para pengurus PPWI Kota Depok usai dilantik.

“PPWI agak berbeda. Ada dua perbedaan mencolok, dimana PWI merupakan wadah organisasi media profesional, sementara PPWI merupakan wadah bagi semua warga yang punya hobi menulis tanpa harus meninggalkan pekerjaan utamanya. Tidak dibatasi, semua berkumpul tujuannya saling berbagi informasi baik secara individual maupun berkelompok,” terangnya.

Masih jelas Ketum, kalau PWI mencari benefit dari kegiatan jurnalistik berbeda dengan PPWI yang hanya menjalankan fungsi tugas jurnastik semata-mata untuk berbagi informasi tanpa digaji. Fungsi PPWI adalah memberi dorongan melalui pemberitaan dalam rangka pencerdasan dan menangkal berita “tidak benar/hoaks”.

“Bidang kedua yakni pembelajaran/Diklat Jurnalistik. Setidaknya ada 8 Polda se-Indonesia, kelompok warga dan lain-lain. Tercatat ribuan warga yang sudah ikut dalam Diklat PPWI,” tandasnya.

Wilson dalam kesempatan tersebut juga menegaskan agar anggota PPWI bisa mendorong enterpreuneurship dengan menciptakan kegiatan-kegiatan positif dalam bidang jurnalistik.

“Saya titipkan Pengurus PPWI Kota Depok kepada Pak Dandim, Pak Kapolres dan Jajaran Pemda Kota Depok untuk membina dan memberikan bimbingan,” demikian pintanya.

Walikota Depok melalui perwakilan Kepala Dinas Pendidikan Kota Depok mengucapkan selamat atas pengukuhan dan pelantikan PPWI

“Alhamdulillah saya sangat bangga sekali sudah diundang mewakili Kepala Dinas Pendidikan Kota Depok. Semoga dengan dilantiknya pengurus PPWI ini bisa bersinergi dengan Pemda Kota Depok, Kodim, Polsek dan Forkopimda,” demikian sambutan singkat A. Oting mewakili Walikota Depok.

Adapun pengurus yang dilantik yakni Hardian Hartono selaku Ketua DPC PPWI Kota Depok 2019-2024, Sekretaris Riki, Bendahara Ivan dan beberapa ketua bidang.
(Red)

Tidak Ada Postingan Lagi.

Tidak ada lagi halaman untuk dimuat.